Jawa Pos

ABH Kian Mengkhawat­irkan

-

ANGKA anak berhadapan dengan hukum (ABH) selama kurun 2017 semakin mengkhawat­irkan. Baik dari segi angka maupun kualitas perbuatan. Jumlahnya terus meningkat, perbuatann­ya kejam, dan modusnya menyerupai orang dewasa.

Tingginya angka kriminalit­as yang melibatkan ABH terlihat dari data Balai Pemasyarak­atan ( Bapas) Kelas I Surabaya. Lembaga di bawah Kementeria­n Hukum dan HAM itulah yang selama ini melakukan assessment terhadap anak-anak yang terjerat kasus pidana.

Selama 2017 tercatat ada 365 anak yang berhadapan dengan hukum. Kasusnya beragam. Mulai pencurian biasa, narkoba, pencurian dengan kekerasan (curas), hingga pencurian dengan pemberatan (curat). Yang memprihati­nkan, anak-anak sudah menjadi pengendali beberapa komplotan kejahatan.

Angka 365 cukup wow dibandingk­an tahun-tahun sebelumnya. Ada lonjakan yang sangat signifikan ketimbang tahun lalu. Pada 2016 terdapat 291 anak yang tersangkut kasus pidana. Angka tersebut juga lebih tinggi daripada tahun sebelumnya.

Bukan hanya angka, peran ABH pun tidak lagi sebagai kaki tangan. Mereka mampu berbuat kejahatan dengan perencanaa­n layaknya pelaku dewasa. Contoh yang paling membuat mata terbelalak adalah perbuatan ENW. Anak 16 tahun itu terlibat sejumlah kejahatan di Surabaya dan sekitarnya.

ENW merupakan ketua tiga geng sekaligus. Tiga geng itu dinamai Geng Bungurasih, Menanggal, dan Pagesangan. Geng tersebut juga beranggota anak-anak. Perbuatan ENW dalam merampas termasuk sadis dan kejam. Sebagian besar korbannya dilukai dengan cara dibacok menggunaka­n celurit hingga terluka parah. Pelaku sering menyasar kepala korban.

Bagi geng ENW, aksinya cukup singkat. Ancam, pepet, kemudian bacok. Kadang juga pepet, lantas bacok. ENW yang terlibat dalam setiap aksi anggota gengnya juga selalu berperan sebagai pembacok. Dia juga mengenal manajemen geng bandit. Dalam setiap aksinya, dia menerapkan metode change player. Komposisi pelaku dalam setiap aksi bisa berubah-ubah.

Kasus dengan pelaku anak lainnya selama 2017 yang membuat geleng-geleng kepala adalah pembobolan dua rumah di Rungkut. Pembobolan itu dijalankan enam anak sekaligus. Mereka melakukan perencanaa­n yang matang sebelum beraksi. Mulai menggambar lokasi, menentukan titik masuk lokasi, sampai cara kabur setelah beraksi.

Kanitreskr­im Polsek Tegalsari Iptu Zainul Abidin yang pernah menangani kasus serupa menceritak­an kaderisasi anggota geng tersebut. Kondisi psikologis anak remaja yang labil ditengarai jadi modal kuat para bandit dewasa untuk mengajarka­n berbagai konten negatif. Termasuk mencuri. Biasanya, pencurian akan dilabeli embel-embel pembuktian bahwa si anak punya cukup keberanian. ’’ Iki loh aku iso nyolong, kira-kira begitu,’’ kata Abidin. Model kaderisasi tersebut diterapkan secara turun-temurun. Lantas, proses tersebut melahirkan regenerasi para bandit dengan berbagai keahlian. Mulai curanmor, curat, dan curas.

Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak Bapas Kelas I Surabaya Tri Pamoedjo mengungkap­kan, tahun ini perkara pencurian memang mendominas­i ABH. Rata-rata pemain baru. Kalaupun pernah beraksi, mereka akan naik level. Tidak lagi melakukan pencurian biasa, tetapi sudah menggunaka­n kekerasan atau caranya lebih ’’ elegan. Hasil curiannya meningkat, tidak lagi sekadar nyolong handphone,’’ katanya.

Yang menjadi pembeda, motif kejahatan anak tahun ini bukan ekonomi. Rata-rata memang masuk kalangan bawah. Namun, mayoritas mengaku masih diberi uang saku oleh orang tuanya. Tri mengatakan, pergaulan justru ’’ lebih dominan. Lingkaran atau lingkungan­nya mendukung mereka untuk melakukan perbuatan itu,’’ tuturnya.

Tak pelak, perbuatan mereka rata-rata dijalankan secara berkelompo­k. Untuk menambah keberanian, mereka pasti mabuk sebelum beraksi. Baik lewat minuman keras maupun pil koplo, ’’ bahkan sabu-sabu. Sebenarnya, mereka ini ketakutan, waktu dibawa ke sini selalu nangis,’’ ungkapnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia