Jawa Pos

Empat Bandar Buruan Mabes Divonis Mati

Di Lampung, Terima Kiriman 134 Kg Ganja dari Aceh

-

BANDAR LAMPUNG – Daftar terpidana mati di Lampung semakin panjang. Jika pada 2017 mencapai 14 orang, saat ini, pekan kedua 2018, jumlah tersebut bertambah menjadi 18 terpidana mati

Kami punya keyakinan yang mendasar, 4 terdakwa pidana mati, 1 seumur hidup, dan 1 dua puluh tahun.”

MANSYUR MANSYUR BUSTAMI BUSTAMI

Hakim Hakim Ketua Ketua

Majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungpur­a, Bandar Lampung, telah menjatuhka­n vonis mati terhadap empat pengedar 134 kg ganja pada Kamis (11/1).

Vonis mati itu dijatuhkan kepada Ridho Yudiantara, 27; Satria Aji Andika, 20; Haryono, 22; dan Hendrik Saputra, 24. Dua terdakwa lain dari jaringan itu, Agus Purnomo, 35, dan Risqi Ari Jumato, masing-masing dihukum 20 tahun penjara dan penjara seumur hidup.

Vonis berat tersebut dijatuhkan karena mereka adalah ’’pemain’’ lama dalam bisnis barang haram itu. ’’Kejahatan narkoba ini bukan main dampaknya. Dari anak sekolah hingga dewasa, semua bisa kena. Dari alat bukti, mereka ini jaringan lintas provinsi,’’ jelas Mansyur Bustami, ketua majelis hakim. ’’Bahkan, para terdakwa sudah empat kali mengirim ganja,’’ lanjutnya.

Lampung merupakan salah satu provinsi dengan kasus per- edaran narkotika terbesar di Indonesia. Provinsi paling selatan di Pulau Sumatera itu menjadi jalur utama lalu lintas darat pengiriman narkotika menuju Jakarta dan Jawa.

Dalam kasus 134 kg ganja Ridho dkk, didapati bahwa ganja berjumlah jumbo itu merupakan paket dari Aceh. Tiga belas di antara 18 terpidana mati adalah terpidana kasus narkotika.

Direktur Reserse Narkoba (Diresnarko­ba) Polda Lampung Kombes Abrar Tuntalanai menjelaska­n, jaringan Ridho cukup besar. Cara kerja mereka pun sangat rapi. Karena itu, ketika hendak menelusuri siapa di atas mereka, pihak berwajib mengalami kesulitan.

”Kita tanya siapa itu Kribo dan Heri, dua orang yang menyuplai ganja, mereka diam tidak tahu,” kata Abrar. ”Mereka tahunya dua orang itu berasal dari Aceh. Itu saja. Karena itu, kami mau melacak, kesulitan,” lanjutnya.

Abrar menambahka­n, jaringan tersebut menggunaka­n sistem pemesanan terputus. Dengan demikian, begitu enam bandar itu tertangkap, bandar yang diduga berdomisil­i di Aceh tersebut sulit untuk ditangkap. Abrar menerangka­n, sistem terputus seperti itu kerap dilakukan para bandar. Baik saat memesan ataupun mengantark­an pesanannya ke bandar lainnya.

”Mereka menggunaka­n orang lain sebagai perantara tanpa saling mengenal. Heri dan Kribo yang mereka sebut itu orang Aceh. Kita tanya mereka tidak tahu keberadaan­nya,” sambung dia.

Abrar menyatakan, Ridho dkk merupakan jaringan bandar narkoba lintas provinsi. Mereka masuk daftar pencarian orang (DPO). ”Mereka juga buruan Mabes Polri,” kata mantan Wakapolres­ta Bandar Lampung itu.

Mengenai pengakuan para terdakwa bahwa mereka ditekan dan dizalimi penyidik, Abrar menegaskan bahwa itu tidak terjadi. ”Itu kan (penekanan, Red) bagian dari teknik penyidikan. Kalau dizalimi ndak lah itu. Kan ada barang buktinya dan ada dua alat bukti itu sudah sah,” tandasnya.

Dalam pertimbang­an hakim, diketahui, terbongkar­nya jaringan itu berawal dari laporan intelijen Polda Riau. Bahwasanya ada pengiriman ganja dari Aceh yang transit di Riau melalui jalur ekspedisi. ”Saat transit, Polda Riau mendapat informasi adanya pengiriman mencurigak­an dan setelah benar, kepolisian melihat paket mencurigak­an yang tak sengaja terjatuh,” kata hakim Pastra Joseph Ziraluo saat membacakan vonis.

Saat paket terjatuh, polisi melihat daun ganja itu terjatuh. Polisi kemudian mengontak Polda Lampung perihal adanya paket ganja yang hendak dikirim ke Lampung. Polda Lampung kemudian bekerja sama dengan perusahaan ekspedisi. Di situ polisi menyamar sebagai karyawan Indah Kargo. Saat mengambil paket tersebut, para terdakwa kemudian diciduk polisi.

Modus mereka mengirim paket itu ialah menggunaka­n alamat palsu Panti Asuhan Alkhairi Amanah, Jalan Wijaya Kusuma Nomor 10, Rawalaut, Kecamatan Pahoman. Padahal, alamat itu tak ada.

Memberikan Efek Jera Sementara itu, Direktur Tindak Pidana ( Dittipid) Narkoba Bareskrim Brigjen Eko Daniyanto menjelaska­n, vonis mati terhadap bandar narkotika diharapkan menjadi warning bagi para bandar lainnya. ”Agar bandar tidak kembali mengedarka­n narkotika di Indonesia,” ucapnya.

Penegak hukum terus berupaya untuk bisa memberanta­s peredaran narkotika. Bahkan, penindakan tegas akan dilakukan bagi bandar. Terutama bila melakukan perlawanan dan membahayak­an petugas. ” Ya, kalau melawan, tindak tegas. Tentu kita tidak bisa mengabaika­n terancamny­a generasi bangsa karena narkotika,” paparnya.

Di bagian lain, Kabagpenum Divhumas Polri Kombespol Martinus Sitompul sempat mengungkap­kan, untuk bandar narkotika yang telah divonis, tentu bisa dipercepat eksekusiny­a. ”Sebab, lapas sebenarnya menjadi salah satu tempat rawan peredaran narkotika. Itu sesuai pemetaan kami,” ucapnya.

Diketahui, Polri memang kian tegas terhadap bandar narkotika. Sesuai data Polri, sepanjang 2017 terdapat 55 bandar narkotika yang ditembak mati. Perinciann­ya, antara lain, Polda Metro Jaya membekuk 20 bandar, Polda Sumatera Utara 13 bandar, dan Dittipid Narkoba Bareskrim 6 bandar. Selanjutny­a, Polda Jawa Timur 4 bandar dan Polda Riau 2 bandar. Serta ada tiga polda (Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan) yang masing-masing menewaskan 1 bandar.

 ?? RADAR LAMPUNG/JPG ?? Mansyur Bustami
RADAR LAMPUNG/JPG Mansyur Bustami

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia