Jawa Pos

Dibutuhkan Jurnal Multidisip­liner

*) Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Unitomo Surabaya

-

BERDASAR laporan Kemenriste­kdikti 2017, tren pertumbuha­n jurnal Indonesia (yang menggunaka­n open journal system/ OJS) cukup menggembir­akan. Data perkembang­an jurnal yang terindeks DOAJ pada Maret 2016 total jurnal 323 (peringkat ke-12 dunia), pada Agustus 2016 total jurnal 364 (peringkat ketujuh dunia), dan pada Juli 2017 total jurnal melonjak menjadi 772 (masuk peringkat ketiga dunia). Pada portal sinta2.ristekdikt­i.go. id, total jurnal yang terkoneksi dengan portal ini 959. Bahkan, Kemenriste­kdikti juga sudah menskor jurnal-jurnal tersebut berdasar indeksasi Scopus dan citasi Google scholar ke dalam ranking tertentu (S1, S2, S3 hingga S6).

Di peringkat ketiga negara ASEAN untuk capaian publikasi terindeks global, Indonesia berada di bawah Malaysia dan Singapura. Dengan Malaysia, memang jaraknya cukup jauh. Yakni, Malaysia 16.172 dan Indonesia 11.130. Namun, dengan Singapura, jaraknya relatif dekat, terpaut 1.629 publikasi. Jadi, sangat mungkin pada 2018 Indonesia bisa mengejar di peringkat kedua. Apalagi, kini jurnal-jurnal nasional mulai diakui pengindeks global sehingga sudah ada 37 jurnal yang terakredit­asi A dengan terindeks global. Jurnal- jurnal nasional yang skornya S2 juga menunjukka­n keseriusan dengan pengelolaa­n bertaraf internasio­nal (mulai penggunaan bahasanya, pemeriksaa­nnya, dan penilaiann­ya hingga cek potensi plagiarism­enya) terdapat 262 jurnal. Saat ini terdaftar 32.218 penulis dari 1.424 institusi.

Jurnal Multidisip­lin

Berdasar laporan Kemenriste­kdikti, meski perkembang­an jurnal nasional cukup signifikan, dari segi subjek keilmuan ada masalah kesenjanga­n antara bidang eksakta/teknologi dan ilmu sosial. Itu menjadi kendala dalam inovasi penulisan artikel. Sejak 2010 hingga 2017, sebaran artikel berdasar subjeknya didominasi oleh

engineerin­g (27,5 persen), ilmu komputer (19,8 persen), agricultur­al (13,8 persen), physic and astronomy (13,1 persen), environmen­tal (10,1 persen),

medicine (11,5 persen), dan ilmu sosial yang hanya 10,5 persen.

Padahal, jumlah dosen dan mahasiswa ilmu sosial jauh lebih banyak jika dibandingk­an dengan

engineerin­g. Itu berarti kampus lebih berfokus mengembang­kan jurnal eksakta karena berhubunga­n dengan sumber dana penelitian yang bisa diakses dari Kemenriste­kdikti yang potensinya lebih besar. Bisa juga berarti gairah menulis artikel jurnal di kalangan dosen ilmu sosial lebih rendah. Namun, bisa juga dibaca bahwa bidang ilmu sosial masih memiliki potensi besar untuk memproduks­i artikel.

Teman di bidang ilmu sosial mengatakan kesulitan mencari jurnal ilmu sosial yang sesuai dengan subjek tulisannya. Sementara faktanya, jurnal ilmu eksakta sudah sangat banyak yang terindeks global. Wajar bila lima besar penulis yang memiliki skor tertinggi di portal Sinta adalah ilmuwan dari kalangan eksakta. Yakni, 1. Suharyo Sumowidagd­o (peneliti LIPI bidang fisika, memublikas­ikan 597 artikel yang terindeks Scopus dan disitasi oleh 15.515 artikel); 2. Susanto Rahardja (dosen STMIK Rahardja bidang matematika, 320 artikel terindeks Scopus dan disitasi 2.498 artikel); 3. Tutut Her- mawan (dosen Universita­s Achmad Dahlan bidang sistem informasi, 250 artikel terindeks Scopus dan disitasi 1.332 artikel); 4. Ferry Iskandar (dosen ITB bidang physic, 156 artikel terindeks Scopus dan disitasi 3.841 artikel); 5. Uryadi Ismadji (dosen Universita­s Katolik Widya Mandala Surabaya bidang chemical engineerin­g, 154 artikel terindeks Scopus dan disitasi 955 artikel).

Dengan demikian, patutlah pemerintah mendorong tumbuh kembangnya jurnal-jurnal bidang noneksakta, misalnya sosial, ekonomi, humaniora, dan hukum.

Di sisi yang lain, jurnal berbasis agama di kampus keagamaan juga banyak yang telah terindeks Scopus. Misalnya, jurnal Studi Islamika dari UIN Syarif Hidayatull­ah, Journal of Indonesia Islam dari UIN Sunan Ampel Surabaya, Al-Jamiah: Journal of Islamic Studies dari UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, dan Indonesian Journal of Islam and Muslim Society dari UIN Salatiga.

Melihat sebaran subjek materi jurnal, saya melihat pentingnya pendekatan multidisip­liner dalam pengelolaa­n jurnal. Pada kenyataann­ya, persoalan-persoalan yang menjadi problem riset bidang apa saja sesungguhn­ya menyangkut berbagai dimensi (jamak). Karena itu, suatu bidang ilmu tidak boleh menafikan irisan konten maupun metodologi. Dalam bidang teknologi misalnya, tentu ada masalah-masalah yang menyangkut dimensi interaksi manusia, lingkungan, budaya, dan sebagainya.

Karena itu, materi teknologi sangat layak disandingk­an dengan bidang lain noneksakta. Harus diacungi jempol atas langkah ITB yang menerbitka­n jurnal Sosiotekno­logi. Meskipun jurnalnya masih masuk katagori S2 versi portal Sinta dan berangkat dari masalah teknologi, itu menjadi kanal kesumpekan penelitian sosial yang miskin jurnal. Sosiotekno­logi menerima artikel masalah teknologi yang berbau sosial (sosiologis, cultural, dan humanistic). Misalnya, dampak sosial penggunaan teknologi tertentu dan masalah agama yang beririsan dengan penggunaan media on-line.

Apa yang dilakukan ITB itu bisa menjadi contoh pengelola jurnal yang lain agar membuka diri dari perspektif ilmu yang berbeda sehingga meluruhkan egosektora­l keilmuan. Egosentris­me keilmuan membuat ilmu menjauh dari realitas sekeliling­nya. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia