Dilema Demokrasi
TAHAPAN pilgub Jatim diramaikan curhat tentang uang mahar oleh salah seorang yang berniat maju, tetapi gagal. Itu mengingatkan kita kembali pada hal klasik yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya, yakni masalah politik uang.
Maju menjadi gubernur Jatim butuh biaya besar. Untuk hal yang paling kasatmata saja, butuh dana besar dalam membayar saksi. Pilgub Jatim memiliki lebih dari 68 ribu tempat pemungutan suara. Jika untuk dua saksi saja dibayar Rp 200 ribu, hitung sendiri dana yang dibutuhkan. Miliaran. Itu masih saksi pada hari H pencoblosan. Sebelum mereka menjalankan tugas, setidaknya paslon juga mengeluarkan dana untuk pelatihan saksi, koordinator saksi, atau atribut seperti kaus.
Di luar itu, pasangan calon juga mesti membiayai tim sukses, buzzer, baliho, alat peraga kampanye, iklan media, sewa artis untuk mendongkrak suara, dan sebagainya. Bertarung dalam pilgub di Jawa, angka Rp 200 miliar yang disiapkan tergolong sudah mepet untuk mencukupi berbagai kebutuhan.
Di sisi lain, parpol-parpol juga butuh hidup. Memang ada mekanisme iuran dari anggota parpol yang terpilih jadi anggota dewan. Namun, tentu saja itu tak berarti banyak bagi operasional parpol dalam menjalankan mesinnya. Apalagi jika di dalamnya ada anggotanya yang bermewah-mewah dengan menggunakan dana parpol. Karena itu, salah satu ’’ barang dagangan’’ yang kerap jadi tambang uang bagi parpol adalah surat rekomendasi untuk pasangan calon (paslon).
Demokrasi di Indonesia memang mahal. Ini terjadi sejak lama dan rasanya sudah banyak yang memahaminya. Ada memang satu dua calon yang tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk maju dalam pergelaran pilkada. Namun, tetap saja biayanya tak berubah. Hanya, sumbernya dikumpulkan secara patungan oleh anggota tim suksesnya.
Mengumpulkan dana ratusan miliar rupiah itu tentu kita tak bisa mengharapkan semua didapat dengan cara yang patut. Pasti ada yang didapat dengan cara tidak elok.
Lalu, apa solusinya? Kiranya hanya pengawasan dan penegakan aturan yang lebih ketat terkait dengan pembatasan dana kampanye yang bisa menguranginya. Dengan demikian, lambat laun terbentuk kultur berpilkada dengan biaya yang masuk akal. Tak ada pembelian suara. Rakyat sendiri yang aktif melakukan kampanye sehingga mengurangi anggaran paslon. Indonesia, tampaknya, masih jauh dari fase itu.