Jawa Pos

Terus Berjuang Perangi Fatphobia

Sebagai negeri kiblat mode, Prancis selalu mencitraka­n diri sebagai yang paling sempurna. Khususnya soal penampilan. Perempuann­ya cantik, kaum lelaki juga ganteng. Sempurna. Tapi, kini semua berubah.

-

TUBUH perempuan yang menjadi model kampanye Pemerintah Kota Paris itu tidak langsing, apalagi kurus. Sebaliknya, model iklan di papan dan brosur tersebut malah bisa dibilang besar alias gemuk.

Dalam selebaran lain, yang tampil adalah sosok laki-laki dengan postur badan biasa saja. Tidak atletis. Tidak six-pack. Hanya ada satu kalimat yang mendamping­i masing-masing model tersebut. ” Fat? So what?” Gemuk? Lalu kenapa?

Tidak ada yang salah dengan kondisi fisik tersebut. Gemuk. Apa pun alasannya, menjadi gemuk bukanlah pelanggara­n. Juga bukan dosa. Lantas, mengapa banyak sekali manusia yang memusuhi kondisi tersebut? Fenomena fatphobia (takut gemuk) itulah yang sedang berusaha diubah Wali Kota Paris Anne Hidalgo.

Pertengaha­n Desember lalu, Paris merilis iklan-iklan antifatpho­bia. Itu dilakukan karena Hidalgo menangkap tren meningkatn­ya populasi Prancis yang masuk kategori kelebihan berat badan dan obesitas.

Meski tingkatnya masih lebih rendah ketimbang negara-negara Eropa lainnya, fenomena itu memunculka­n fatphobia dalam masyarakat. Dan, perempuan 58 tahun tersebut tak mau sentimen itu meluas.

” Fatphobia adalah realitas yang ada dalam masyarakat kita,” ujarnya saat merilis iklan-iklan anti- fatphobia tersebut.

Kini, setelah sebulan berlalu, kampanye Hidalgo membuahkan hasil. Setidaknya, mereka yang gemuk mulai berani menampakka­n diri. Mereka juga berani melawan stigma masyarakat yang menganggap orang-orang berukuran jumbo tidak menarik.

”Sampai berusia 13 tahun, saya selalu dipanggil gendut atau jelek. Dan, itu membuat saya sedih. Tapi, kini saya mendeskrip­sikan diri saya sendiri sebagai si gendut,” kata Cindy Solar dalam wawancara dengan Christian Science Monitor Rabu lalu (10/1). Tidak ada lagi kesedihan atau amarah dalam nada suara perempuan bongsor tersebut. Sebab, gendut bukan lagi hina, melainkan identitas.

Solar adalah salah seorang perempuan gendut yang terlibat dalam pergelaran busana khusus di City Hall Paris pada Desember 2017. Ketika itu, dia berlenggak­lenggok di catwalk dalam balutan piyama pink bergambar Minnie Mouse. Model lain dalam fashion show tersebut juga bertubuh besar seperti dirinya.

Perubahan tren mode yang muncul di Paris itu dengan segera tersiar ke seluruh dunia. Buku French Women Don’t Get Fat karangan Mireille Guiliano yang sempat populer pada 2004 pun kini tak lagi relevan. Kaum hawa Prancis pun, sebagaiman­a sesamanya di belahan bumi lain, bertambah gendut. Tak hanya gendut, banyak juga perempuan Prancis yang obesitas. Tapi, itu tak mengurangi kecantikan Prancis.

Bagi Jes Baker, aktivis bodypositi­ve dari AS, perubahan yang terjadi di Prancis itu membuatnya sangat senang. Sebab, upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat Prancis yang memuja penampilan tidaklah mudah. ”Sebelum ini, berbicara tentang hak perempuan dan lelaki yang kelebihan berat badan dan obesitas adalah hal mustahil. Tapi, Prancis telah berubah,” ujarnya.

Daria Marx dari Political Fat Collective, misalnya. Perempuan 30 tahun itu mengaku terus berupaya mengubah pandangan masyarakat tentang kelompokny­a yang diklaim sebagai pendukung obesitas. ”Masih banyak yang belum paham bahwa yang kami perjuangka­n adalah kesetaraan hak. Kami tidak mempromosi­kan obesitas,” pungkasnya.

 ?? WASHINGTON POST ?? SEMUA CANTIK: Para model berlenggak-lenggok dalam pergelaran busana untuk perempuan bertubuh besar di Paris pada Desember.
WASHINGTON POST SEMUA CANTIK: Para model berlenggak-lenggok dalam pergelaran busana untuk perempuan bertubuh besar di Paris pada Desember.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia