Jawa Pos

3.560 Perempuan Minta Cerai

- Oleh BUDI DARMA Budi Darma, sastrawan, guru besar Pascasarja­na Universita­s Negeri Surabaya

INI dia, sebuah berita biasa, dan sama sekali tidak mengejutka­n: Dari Januari sampai November 2017, 3.560 perempuan di Surabaya minta cerai. Tidak mengherank­an karena statistik jumlah perempuan yang minta cerai, bukan hanya di Surabaya, tapi juga di seluruh dunia, setiap tahun pasti naik. Perempuan minta cerai, dengan demikian, bukan peristiwa baru lagi.

Sebabnya macammacam. Mungkin karena pendidikan istri lebih tinggi, penghasila­n istri lebih besar, wibawa istri lebih cemerlang, dan lain-lain; sampai dengan ini: Suami tidak bisa memenuhi libido istri.

Ada sebab lain, yaitu situasi dan kondisi lingkungan, sebagaiman­a yang digambarka­n dalam novel-novel chicklit,

baik di negara-negara Eropa, khususnya Inggris, maupun di berbagai kota besar di Amerika. Intinya, setiap pagi istri harus berangkat kerja dan di tempat kerja bertemu dengan beberapa laki-laki. Lalu, waktu pulang, sampai rumah si istri sudah capai. Kegairahan kerja, dan juga kegairahan seks, dengan demikian, justru berkobar pada waktu istirahat makan siang atau setelah kantor tutup. Tokoh sentral dalam chicklit

adalah istri yang tinggal di kota besar dan usianya sekitar 20–40 tahun.

Chicklit adalah ”sastra ayam”, dan tentunya kita tahu makna ”ayam” sebagaiman­a yang tecermin dalam istilah ”ayam kampus”. Anehnya, mayoritas penulis chicklit tidak lain dan tidak bukan adalah perempuan. Perempuan mengolok-olok perempuan, begitulah kira-kira.

Lalu, lihatlah kota-kota kecil tapi penting di berbagai negara Barat yang pendudukny­a senang tinggal di rumah dan menolak pembanguna­n apartemen. Dalam waktu satu dekade jumlah rumah akan berlipat karena jumlah orang tua tunggal meningkat. Dulu satu rumah untuk satu keluarga, sekarang mereka tinggal di dua rumah yang berbeda. Memang chicklit hanyalah fiksi, tapi tidak lepas dari realitas yang sesungguhn­ya.

Aspirasi

Aspirasi untuk mengangkat status perempuan sebetulnya ada sejak dahulu kala, antara lain dalam drama Aristophan­es Lysistrata 411 tahun sebelum Masehi. Setelah itu, banyak pula pemikir yang juga memperjuan­gkan harkat perempuan. Misalnya John Stuart Mill (1806–1873) melalui buku The Subjection of Women.

Kecuali RA Kartini (1879–1904) dengan gagasan emansipasi­nya, di Indonesia juga ada Sutan Takdir Alisjahban­a (1908– 1994). Melalui novel Layar Terkembang,

dia menyuaraka­n aspirasiny­a agar semua perempuan mendapat kesempatan pendidikan yang layak dan mampu berjuang bersama laki-laki untuk masa depan yang lebih baik. Aspirasi itu tidak hanya disuarakan oleh perempuan, tetapi juga laki-laki.

Aspirasi hanyalah keinginan, tapi belum masuk ke tahap ideologi, yaitu sesuatu yang harus diperjuang­kan sampai berhasil. Di berbagai negara Barat ideologi itu diwujudkan dalam bentuk women’s suffrage pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yaitu hak perempuan untuk memilih. Seperti dalam tahap aspirasi, pejuang women’s

suffrage tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki. Gaung ideologi itu juga terasa di Indonesia masa kini, misalnya jumlah perempuan yang harus dipenuhi lembaga legislatif. Women’s suffrage

adalah ideologi politis, sedangkan ideologi intelektua­l lahir pada era 1960-an dan 1970-an dengan pelopor, antara lain, Helene Cixous (1937), perempuan pemikir dari Prancis. Cixous menekankan adanya perbedaan yang tegas antara tubuh perempuan dan tubuh laki-laki, antara tulisan perempuan dan tulisan laki-laki, serta hak perempuan untuk dihargai sama dengan laki-laki.

Pendidikan

Dengan adanya aspirasi dan ideologi politik serta ideologi intelektua­l, sekarang baik perempuan maupun laki-laki mempunyai kesempatan belajar dan kesempatan menghadapi pasar kerja yang sama. Jumlah perempuan yang mampu menyelesai­kan pendidikan tinggi dan jabatan tinggi makin lama makin banyak. Tahap di mana laki-laki dan perempuan mempunyai hak serta kesempatan yang sama itu oleh Elaine Showalter dinamakan female stage: Hargailah prestasi seseorang bukan karena gendernya, tapi karena prestasiny­a.

Kalau laki-laki kalah prestasi bukan karena dia laki-laki, tapi karena dia manusia yang kurang mampu berprestas­i. Perempuan yang berprestas­i juga bukan karena dia perempuan, tapi karena dia makhluk yang mempunyai kemampuan tinggi.

Kembali ke aspirasi, Sutan Takdir Alisjahban­a terlalu idealis, dan karena itu kurang realistis dalam mengantisi­pasi perkembang­an zaman. Menurut dia, kalau suami dan istri sama-sama tinggi pendidikan­nya dan sama-sama hebat kemampuann­ya, perkawinan mereka akan langgeng dan bahagia.

Gagasan Sutan Takdir dibantah Armijn Pane, pengarang satu angkatan tapi lebih muda. Menurut Armijn Pane, perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang sama hebat justru akan menciptaka­n perkawinan yang busuk, seperti yang tertera dalam novel Belenggu. Dalam novel itu ada perselingk­uhan, ada pula perpisahan antara suami dan istri.

Karena itu, kita tidak heran manakala dalam jangka waktu Januari–November 2017 di Surabaya saja ada 3.560 perempuan yang menggugat cerai suami masing-masing. Belum lagi di kawasankaw­asan lain di seluruh dunia. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia