Menanti Visi Maritim Cagub Jatim
PESTA demokrasi pilkada Jatim segera dimulai. Ada dua cagubcawagub yang akan memperebutkan tiket menuju Jatim 1. Siapa pun yang menang bukan masalah. Yang terpenting, program kerja apa yang ditawarkan untuk membangun Jatim. Semua dibungkus dalam mimpi atau visi mereka.
Maritim secara simpel dikaitkan dengan laut berikut sumber daya alam (SDA)-nya. Laut berperan vital karena dua pertiga bumi ini adalah laut. Teritori Indonesia juga didominasi lautan. Potensi SDA hayati dan nonhayati melimpah, tapi pemanfaatannya kurang optimal. Bahkan cenderung menimbulkan konflik. Sebab, laut dianggap sebagai ”milik bersama” (open access). Tingkat kemiskinan dan konflik sumber daya justru sering kali terjadi di pesisir. Yang terpenting, saat ini kewenangan pengelolaan laut (perairan pesisir 0–12 mil) ada di provinsi.
Laut sebagai Ruang Belakang Dikutip dari Diposaptono (2017), kontribusi bidang kelautan bagi GDP Indonesia tidak lebih dari 15 persen. Kisaran angka itu juga terjadi di Jatim. Bandingkan dengan Norwegia yang juga negara maritim dan kepulauan. Kontribusi bidang kelautannya ham- pir mencapai 60 persen dari GDPnya. Bahkan, Tiongkok sebagai negara yang didominasi daratan memiliki kontribusi kelautan yang sudah mencapai 50 persen dari GDP. Kecilnya kontribusi perekonomian kelautan di Indonesia (juga di Jatim) bahkan semakin tergerus jika dikurangi biaya sosial dan lingkungan yang terjadi akibat konflik.
Kontribusi kelautan belum optimal karena kita selama ini menganggap laut sebagai ruang belakang. Laut justru menjadi tempat pembuangan sampah. Apa yang dikembangkan di darat, laut harus menyesuaikan. Terkadang, demi mendukung pengembangan industri di darat, bakau dan terumbu karang harus dikorbankan. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan hiburan pun, laut perlu direklamasi.
Di satu sisi, potensi SDA hayati dan nonhayati yang melimpah kurang optimal dikembangkan karena kita ”memunggungi” laut. Di tengah melimpahnya air laut, kita justru masih mengimpor garam. Potensi biofarmakologi dan bioteknologi laut kita sangat besar. Potensi itu menghasilkan obat-obatan, kosmetik, makanan dan minuman, bahkan hingga kaca, kertas, serta produk lainnya. Belum lagi pemanfaatan air laut sebagai sumber energi baru. Pola Pikir Terintegrasi Mengembalikan kejayaan di laut adalah pola pikir (mindset). Itu tidak berarti ruang muka kita harus digeser ke laut, tetapi laut dan darat yang terintegrasi. Perlu saling menyesuaikan satu dengan yang lain. Potensi pengembangan industri di darat tidak perlu mengorbankan konservasi di laut. Fasilitas pendukung seperti pelabuhan dan terminal khusus bisa diintegrasikan. Sebaliknya, pengembangan potensi di laut seperti keramba jaring apung (KJA) offshore bisa disatukan dengan pelabuhan perikanan.
Semangat terintegrasi juga harus antar pemerintah dan antarsektor. Berdasar UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, kewenangan pengelolaan laut saat ini ada di provinsi (untuk pesisir 0–12 mil). Sebelumnya wilayah perairan pesisir 0–4 mil atau sepertiga wilayah provinsi adalah kewenangan kabupaten/kota. Padahal, kompleksitas pengelolaan laut pesisir ada di wilayah yang dulu menjadi kewenangan kabupaten/ kota. Dalam hal ini diperlukan ketegasan dan kearifan provinsi dalam mengalokasikan sumber daya yang merata dan terintegrasi antarkabupaten/kota.
Dalam lingkup internal provinsi pun, pengelolaan wilayah laut juga dilakukan lintas sektor. Menghilangkan ego sektoral adalah lagu lama yang tak kunjung tuntas. Apakah memungkinkan sektor pertambangan mengurangi targetnya semata-mata untuk melindungi kawasan konservasi dan memberikan peluang kepada nelayan kecil? Dalam hal ini diperlukan leadership yang kuat dan visi maritim yang terintegrasi sehingga memberikan ruang bermain yang optimal bagi setiap sektor dalam mengelola laut.
Tata Ruang Laut
Pola pikir terintegrasi sudah terumuskan dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) sebagai instrumen perencanaan tata ruang laut pesisir (0–12 mil). Substansi dalam RZWP3K dikatakan terintegrasi karena telah dianalisis berdasar ketersediaan, kesesuaian, dan kebutuhan ruang. Di samping itu, proses penyusunan RZWP3K dilakukan berdasar kesepakatan dan konsensus dengan stakeholders terkait. Dengan demikian, RZWP3K dapat juga dikatakan sebagai acuan bersama dalam mengelola ruang laut pesisir.
Gubernur dalam menyusun visi pemerintahannya di bidang maritim seharusnya didasarkan dan diturunkan dari RZWP3K. Instrumen tersebut adalah alat konsensus jangka panjang selama periode 20 tahun. Dengan demikian, wawasan integrasi, kesepakatan antarsektor dan stakeholders, serta kesinambungan pembangunan maritim dapat terwujud. Jangan sampai ganti kepala daerah ganti selera.
Sejarah telah membuktikan, negara besar yang pernah lahir di Nusantara justru berbasis maritim. Sriwijaya pada abad ke-7 dan dilanjutkan Majapahit pada abad ke-14. Bila siklus tujuh abad itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin pada abad ke-21 Indonesia berjaya dengan poros maritimnya yang terintegrasi. *) Dosen Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya