Pelajaran Kasus Fredrich
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mengambil tindakan tegas terhadap para pihak yang diduga menghalang-halangi penyidikan (obstruction of justice) kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto (Setnov). Yakni, dengan menahan Fredrich Yunadi (mantan pengacara Setnov) dan Bimanesh Sutarjo, dokter di RS Medika Permata Hijau, Jakarta Selatan.
Keduanya dianggap melakukan rekayasa atas sakit Setnov setelah mengalami kecelakaan di kawasan Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, November 2017.
Tentu saja, penetapan mereka sebagai tersangka, khususnya Fredrich, memicu pro-kontra. Ada yang berpandangan bahwa penetapan tersangka itu merupakan salah satu upaya kriminalisasi yang ditujukan kepada profesi advokat.
Peran dan fungsi advokat dalam perkara pidana adalah pembelaan, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan, di pengadilan. Bentuk pembelaan itu berupa pendampingan atau tindakan lain seperti bersurat, mengajukan upaya hukum seperti praperadilan. Tujuannya, klien diperlakukan sesuai hukum acara dan perlindungan HAM. Sebaliknya, jika tujuan mulia tersebut disalahgunakan untuk melindungi klien secara membabi buta, tentu permasalahannya akan menjadi lain.
Dalam kasus Setnov, Fredrich begitu matimatian membela Setnov. Tindakan Fredrich bersama Bimanesh merekayasa kondisi kesehatan Setnov pasca kecelakaan, bahkan hingga menyebut kepala Setnov benjol sebesar bakpao, sangat tidak masuk akal bila masuk sebagai bagian dari pembelaan.
KPK dalam mengusut Fredrich tidak perlu lagi memerlukan konfirmasi dari sidang etik profesi advokat. Sebab, perbuatan Fredrich tidak lagi dikategorikan pelanggaran etik. Namun, sudah memenuhi rumusan pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, berupa menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi.
Meski demikian, KPK harus berhati-hati dalam menerapkan jerat pidana terhadap Fredrich. Penyidik harus membuktikan adanya iktikad buruk selama Fredrich mendampingi Setnov. Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 14 Mei 2014 menganulir pemberlakuan pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. MK berpandangan, pasal 16 UU Advokat tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ”Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.”