Satu Jaringan dengan Komplotan Surabaya
SIDOARJO – Gudang penyimpanan jutaan pil koplo di Wonoayu, Sidoarjo, ternyata memiliki keterkaitan dengan kasus pil setan di Surabaya Barat
Imam Muklison, tersangka yang ditangkap di rumah yang menjadi gudang pil koplo Rabu lalu (17/1), adalah anggota jaringan yang berhasil kabur dari penggerebekan di Surabaya Barat pada 7 November lalu. ”Masih satu jaringan dengan TKP Surabaya,” kata Kapolda Jatim Irjen Pol Machfud Arifin kemarin (18/1).
Pada awalnya, Imam mengaku hanya penjaga gudang. Dia tidak tahu-menahu tentang barang haram tersebut. Namun, setelah menjalani proses penyidikan, dia akhirnya mengaku kepada polisi. Bahwa dia mengenal empat tersangka yang diciduk di Surabaya.
Dulu ketika tahu teman-temannya diamankan polisi, pria 52 tahun itu melarikan diri ke Sangatta Utara, Kutai Timur, Kaltim. Anggota komplotan yang lebih dahulu ditangkap di Surabaya adalah Sugeng Prastowo, 47; Siti, 40; Seniman, 46; dan Subagiono, 37.
Kini polisi memburu bos jaringan itu, yaitu Albert. ”Masih buron. Identitasnya sudah kami kantongi,” ucap Machfud.
Bahan baku kimia jaringan itu berasal dari Purwokerto, Jateng. Untuk menyebarkan obat keras di kawasan Indonesia Timur, Surabaya dipilih sebagai markas. Imam dan jaringannya menjadikan rumah di kawasan Surabaya Barat sebagai lokasi pembuatan. Mereka menempati rumah tersebut sejak September 2017. Sebagian pil koplo yang diproduksi jaringan itu kemudian disimpan di gudang di Sidoarjo. ”Jika ditarik garis lurus, masih ada hubungan dengan jaringan di Jateng yang juga sudah terungkap,” ungkap Machfud.
Kapolda mengatakan bahwa keuntungan yang didapat jaringan tersebut dari pil koplo sangat tinggi. Itu membuat mereka nekat meski harus berurusan dengan polisi. ”Membuatnya juga tidak susah. Buktinya, barang bukti yang ditemukan sangat banyak. Di Surabaya kita dapat 3 juta butir. Di Sidoarjo 5 juta butir,” paparnya.
Imam mengaku terjun di bisnis terlarang tersebut sejak 2016. Dia gelap mata sejak di-PHK perusahaan rokok tempatnya bekerja di Surabaya. Upah yang menjanjikan dari bisnis pil koplo membuat pria asal Ngagel, Wonokromo, Surabaya, itu tertarik. ”Bisa dapat Rp 5 sampai 10 juta per bulan. Tergantung banyak tidaknya pesanan,” ungkapnya.
Imam menyebut pemimpin tertinggi di jaringan Surabaya adalah Sugeng. Albert yang saat ini masih buron adalah tangan kanannya. Dia bertugas mendistribusikan pil koplo buatan mereka. ”Saya yang mengemas ke dalam karduskardus di gudang,” terangnya.
Bapak tiga anak itu berdalih tidak tahu pasti wilayah peredaran pil koplo yang mereka produksi. Seingatnya, pengiriman pernah dilakukan ke Kendari, Sulawesi Tenggara; dan Matraman, Jakarta Timur. ”Belum banyak kirim. Baru beberapa bulan gudang di Surabaya digerebek. Gudang di Sidoarjo ikut vakum,” sebutnya.
Imam mengaku selama pelarian ke Kaltim, dirinya mencari penghasilan dengan menjadi teknisi. Istri dan anak-anaknya tidak ikut. Mereka tetap tinggal di Sawocangkring. Karena merasa situasi sudah aman, Imam memutuskan balik ke Jatim. Tetapi, dia tidak langsung pulang ke rumah. ”Tinggal di rumah saudara di Nginden, Surabaya,” katanya.
Kepala Desa (Kades) Sawocangkring Sugito mengatakan, keseharian Imam di kampung sejatinya tidak mencurigakan. Dia dan keluarganya mudah bergaul dengan warga lain. Jadi, penangkapan itu membuat banyak warga kaget. ”Aslinya dari Surabaya. Tinggal di Wonoayu mulai tahun 2000,” jelasnya.
Warga pun tidak menaruh curiga kepadanya meski tibatiba menghilang. Sebab, kabar yang beredar di masyarakat menyebut Imam bekerja sebagai teknisi di Kalimantan. ”Enggak tahu kalau ternyata ke sana karena jadi buruan polisi,” ucapnya.