Ada Yang Sudah Lama Tolak Cantrang
DIPERBOLEHKAN atau tidak, para nelayan Banyuwangi, Jawa Timur, sudah satu suara: menolak cantrang. Bahkan, penolakan itu telah mereka praktikkan dalam satu dekade terakhir.
Menurut Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Banyuwangi H M. Hasan Basri, para nelayan di daerahnya, terutama di Kecamatan Muncar, menolak cantrang karena merusak habitat di laut
JCantrang dikasih kesempatan sampai (periode) pengalihan. Bukan boleh selamanya.”
”Terumbu karang juga ikut rusak,” ungkapnya kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi.
Dijelaskan, cantrang sebenarnya tidak beda dengan alat tangkap nelayan lainnya, yakni jaring. Hanya pengoperasiannya yang berbeda.
Cantrang menggunakan jaring berukuran besar yang diberi semacam pemberat sehingga tenggelam sampai di dasar laut. Selanjutnya, jaring yang diberi tali itu ditarik dengan menggunakan kapal.
”Jaring yang diberi beban hingga dasar laut dan ditarik itu merusak habitat laut,” ungkapnya.
Hasan mengungkapkan, penolakan para nelayan Banyuwangi tersebut merupakan upaya untuk menjaga kelestarian habitat laut dan lingkungan. ”Sekarang ikan sudah susah ditangkap, kita harap tidak menambah masalah.”
Kalaupun nanti pemakaian cantrang kembali diperbolehkan, Hasan berharap nelayan Banyuwangi tak ikut-ikutan. ”Selama ini nelayan di Banyuwangi sudah kondusif, tak ada yang pakai cantrang. Kami harap ini bisa terjaga,” katanya.
Penolakan serupa telah dipraktikkan para nelayan di Kendal, Jawa Tengah. Alasannya sama, menjaga ekosistem laut yang pada muaranya bisa mengakibatkan tangkapan ikan berkurang.
Menurut Joko, nelayan di Kelurahan Bandengan, Kendal, dirinya dan rekan-rekan selama ini lebih memilih memanfaatkan jaring penangkap ikan ramah lingkungan bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun, karena ukurannya kecil, banyak yang dirombak.
Selama ini kebanyakan nelayan Kendal menggunakan jaring dengan panjang 17–20 meter. ”Sedangkan bantuan dari pemerintah hanya 16 meter sehingga harus disambung,” kata Joko kepada Radar Pekalongan (Jawa Pos Group).
Joko menambahkan, pemakaian jaring biasa itu kian cocok pada musim tangkapan udang seperti sekarang ini. Nelayan rata-rata mendapat 30 kilogram hingga 50 kilogram dalam sekali melaut. Dengan harga kotor sekitar Rp 800 hingga Rp 1 juta.
Ketua DPC HNSI Zaenal Abidin juga memastikan di Kendal tidak ada kapal cantrang. Itu terkait dengan hasil penangkapan nelayan yang saat ini cukup bagus. ”Cuma, cuaca tidak menentu membuat nelayan kadang berangkat karena ombak tinggi harus pulang tanpa hasil,” katanya.
Sementara itu, di Kotabaru, Kalimantan Selatan, polemik terkait cantrang memunculkan kebingungan di kalangan nelayan setempat. Sebab, mereka menggunakan alat tangkap berbeda meski dengan prinsip kerja yang mirip.
Alat itu adalah lampara dasar. Bedanya dengan cantrang hanya pada ukuran. Sebab, di Kotabaru, kapal nelayan rata-rata hanya 1–2 GT (gross tonnage/tonase kotor).
”Kalau memang cantrang boleh dipakai, bagaimana dengan lampara dasar? Kami tak ada yang pakai cantrang di sini,” kata Samsudin, seorang nelayan di Desa Rampa, Kotabaru, kepada Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group).
Tomi, nelayan lainnya, menambahkan, jika memang nanti cantrang boleh dipakai, lampara dasar semestinya juga diizinkan. ”Tapi, kami menunggu kepastian hukumnya dulu,” tuturnya.