Membangun Kemandirian Perempuan
Catatan Tanwir Aisyiyah 19–21 Januari 2018
PEREMPUAN adalah makhluk hebat. Dia diciptakan Tuhan bukan sebagai ”pelengkap”. Keberadaannya menjadikan hidup tetap lestari. Pasalnya, dari rahim perempuanlah anak-anak lahir. Dari rahim perempuanlah tunas muda bangsa tumbuh dan menjadi pribadi tangguh. Karena belaian kasih sayang, curahan rasa cinta, dan kekuatan doa perempuanlah, anak-anak bangsa menjadi generasi penerus kehidupan negara.
Negara membutuhkan banyak perempuan berkemajuan seperti itu. Artinya, dia bukan sekadar seorang dengan gender ”perempuan”. Namun, menjadi sosok inspiratif bagi anak-anaknya. Perempuan berkemajuan juga potret di mana seorang perempuan merupakan kader pelopor, pelangsung, dan penyempurna cita-cita bangsa. Mereka selalu berada di garis terdepan dalam proses pemanusiaan, pendidikan, dan peradaban.
Kader perempuan berkemajuan telah lama dirintis oleh Aisyiyah. Organisasi perempuan Muhammadiyah ini telah membuktikan diri turut serta dalam proses memajukan nalar, pikir, hati, dan tindakan perempuan.
Proses itu dilakukan secara berjenjang. Mereka berproses dari ranting hingga pimpinan pusat. Proses ini menjadi bukti kaderisasi yang terus berlanjut dalam rahim Muhammadiyah. Kaderisasi perempuan berkemajuan dilakukan secara sistemik dan apik oleh Aisyiyah.
Roh Pancasila Aisyiyah menyelenggarakan tanwir pada 19–21 Januari 2018 di Surabaya, Jawa Timur, dengan tajuk Gerakan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Pilar Kemakmuran Bangsa. Tema ini, menurut saya, sangat pas di era saat ini. Di mana ketimpangan dan keadilan sosial belum mewujud. Keadilan sosial ekonomi masih saja menjadi nilai yang menjadi angan-angan dan cita-cita. Padahal, keadilan sosial ekonomi merupakan amanat sila kelima Pancasila, ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Sila itu selayaknya menjadi laku bangsa. Pasalnya, sila itu merupakan inti dari Pancasila. Ahmad Syafii Maarif menyebut keadilan sosial merupakan roh Pancasila. Jika keadilan sosial tidak segera mewujud, Pancasila akan mati dan tinggal namanya saja.
Aisyiyah mengajak semua pihak kembali menengok cita kebangsaan dalam Pancasila itu. Yaitu, kemakmuran. Pilar kemakmuran itu salah satunya berada di tangan perempuan. Pemberdayaan ekonomi perempuan akan mendorong kemandirian. Kemandirian perempuan itu tidak dapat diwujudkan begitu saja. Perlu kerja keras dan kerja sama semua pihak.
Sebagai organisasi perempuan, Aisyiyah menyadari bahwa perempuanlah yang dapat mempercepat perwujudan cita itu. Aisyiyah sejak lama berkomitmen turut mendidik perempuan untuk menjadi kader teladan dan mandiri. Perempuan dididik melalui kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Mereka tidak sekadar menjadi event organizer (EO). Namun, belajar mengolah potensi bersama sesuai arahan organisasi.
Tantangan Aisyiyah sejak lama berkomitmen mendidik perempuan Indonesia untuk mandiri. Aisyiyah melalui jejaring organisasi melakukan pembinaan terhadap perempuan agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Sebagaimana data yang dirilis di web aisyiyah.or.id, organisasi yang kini dipimpin oleh Dra Siti Noordjannah Djohantini MSi itu telah mendirikan 568 koperasi untuk perempuan dan melakukan pemberdayaan ekonomi keluarga melalui 1.029 Bina Usaha Ekonomi Keluarga (BUEKA), mendirikan Baitul Maal wa Tamwil, dan pembinaan home industry. Selain itu, Aisyiyah mengelola pendidikan tingkat dasar hingga tinggi (TK/PAUD sampai sekolah tinggi/universitas), balai kesehatan dan rumah sakit, panti asuhan, dan seterusnya. Usaha itu menjadi bukti Aisyiyah telah mendorong perempuan mandiri sejak berdiri pada 19 Mei 1917.
Kerja hebat Aisyiyah itu kini mendapat tantangan. Salah satunya adalah masalah ketimpangan ekonomi yang kian mencolok. Betapa tidak, harta kekayaan 1 persen orang kaya di Indonesia lebih besar dari seluruh kekayaan 100 juta penduduk miskin. Tidak hanya itu, penelitian Trade Union Right Center (TURC) Indonesia menyebutkan hampir 70 persen proses produksi barang dikerjakan di luar pabrik. Proses produksi itu banyak dilakukan oleh perempuan. Mereka sering kali belum mendapat hak-hak yang layak.
Aisyiyah perlu mendorong keadilan ekonomi perempuan melalui serangkaian program. Semoga tanwir di Universitas Muhammadiyah Surabaya mampu menghasilkan serangkaian agenda untuk kemandirian perempuan. Tanwir sebagai forum tertinggi kedua setelah muktamar mempunyai nilai strategis untuk mendorong kebangsaan lebih tercerahkan.
Kebangsaan hari ini masih belum cerah. Keadilan sosial dan kemakmuran bangsa belum mewujud. Aisyiyah berkomitmen untuk mewujudkan keadilan sosial itu dengan langkah-langkah strategis. Semoga tanwir Surabaya menghasilkan sejumlah rumusan berharga bagi bangsa. Selamat tanwir Aisyiyah. (*)
*) Anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Aisyiyah dan dosen FISIP Uhamka