Jawa Pos

Politik Impor Beras

-

Beberapa waktu terakhir ini, soal impor beras menjadi salah satu trending topic di Indonesia. Sayangnya, lagi-lagi perdebatan yang tersaji di media sosial lebih kental nuansa politiknya ketimbang substansi masalahnya.

Singkatnya, yang anti-Jokowi menuding rezim ini gagal karena pernah berjanji untuk tak pernah impor beras lagi. Sedangkan pro-Jokowi membela diri bahwa ini adalah keniscayaa­n. Sebuah perdebatan yang njelehi dan tak menyelesai­kan masalah.

Seharusnya momen seperti ini menjadi tonggak pengingat bahwa sesungguhn­ya Indonesia adalah negara agraris. Petani sebenarnya adalah mayoritas dan menjadi tonggak perekonomi­an. Pelajaran IPS SD mengajari kita bahwa 75 persen penduduk Indonesia hidup di desa-desa.

Namun, sejauh ini, keberpihak­an pemerintah dan masyarakat urban tak pernah terlihat jelas. Jika ingin data rigid, lihat saja NTP (nilai tukar petani, sebuah parameter untuk mengukur daya beli petani) dari tahun ke tahun. Tak banyak petani yang sejahtera, atau setidaknya bertani bukan menjadi pilihan pekerjaan mayoritas masyarakat Indonesia saat ini. Logikanya, jika memang menjanjika­n, banyak sarjana yang memilih kembali ke desa dan menjadi petani. Kritik juga untuk masyarakat urban atau

netizen. Mereka berteriak-teriak ketika pemerintah mulai membuka keran impor. Alasannya, impor akan mematikan produk dalam negeri. Mereka hanya berteriak tanpa berpikir bahwa kenaikan harga eceran beras di masyarakat sudah melebihi toleransi (beras medium naik sekitar Rp 2 ribu, dari Rp 9 ribu ke Rp 11 ribuan).

Selain itu, para pengkritik ini tak mengajukan solusi sama sekali. Ketika harga komoditas pertanian anjlok, seperti bawang merah pada September 2017 lalu, ke mana mereka? Tak ada satu pun yang membela. Padahal, penderitaa­n para petani ketika harga jeblok berarti kehidupan yang mengerikan. Mereka akan tenggelam dalam jerat utang para tengkulak.

Sudah seharusnya pemerintah lebih memperhati­kan sektor pertanian. Mengedukas­i petaninya, memberinya pelatihan untuk meningkatk­an nilai tambah produksiny­a, dan memperbaik­i infrastruk­tur untuk mengurangi ongkos distribusi­nya.

Selain itu, pemerintah harus memperbaik­i data kecukupan beras yang disuguhkan oleh BPS maupun Kementeria­n Pertanian. Ketidakaku­ratan data hanya akan membuat pemerintah terlambat, atau bahkan tidak tepat, untuk mengeluark­an beleid di bidang pertanian. Entah itu impor, entah itu menutup keran impor. Untuk itu, pemerintah sudah saatnya lebih meluangkan waktu untuk memperhati­kan para petani. (*)

 ?? ILUSTRASI: ERIE DHINI/JAWA POS ??
ILUSTRASI: ERIE DHINI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia