Jawa Pos

Ukur Teratur Tinggi dan Berat Badan

Tumbuh kembang anak merupakan salah satu perhatian orang tua. Semasa balita, ada program posyandu serta kartu menuju sehat (KMS) sebagai panduan. Bagaimana anak-anak usia SD?

-

ANAK-ANAK punya fase tumbuh kembang masing-masing. Ada anak yang punya perawakan bak remaja, tapi tidak sedikit yang terbilang mungil. Bahkan, perbedaan itu bisa dialami dalam satu keluarga. Salah satunya dirasakan Reni Wulandari, ibu Rafi Abizhar Setiawan Putra, 12, dan Keyla Aurelia Setiawan Putri, 8.

”Rasanya, lebih cepat adiknya untuk tumbuh kembang. Mulai usia TK, Keyla sudah kelihatan tinggi jika dibandingk­an dengan temannya,” ungkap Reni. Tinggi badan Rafi 140 cm dan si adik 125 cm. Perawakan mereka terbilang kurus.

Padahal, keduanya mendapat asupan gizi teratur dan seimbang plus suplemen makanan. ”Kakaknya juga ikut basket dan futsal sekarang,” lanjutnya. Reni menambahka­n, nafsu makan keduanya juga baik. Putra sulungnya, meski picky eater, punya porsi makan banyak. ”Adiknya hobi ngemil,”

ucap Reni.

Menurut dr Kusdwijono SpA, tinggi dan berat badan adalah parameter tumbuh kembang anak. Seperti semasa balita, keduanya perlu diukur secara berkala. Sebenarnya, pada anak usia SD, masih ada grafik dari IDAI untuk panduan.

Spesialis anak RS Husada Utama Surabaya itu menjelaska­n, jika perkembang­an anak baik, tiap bulan grafik akan terus naik. ”Tapi, perlu digarisbaw­ahi, tidak ada standar. Misalnya, anak usia segini,

tinggi harus berapa senti, bobotnya harus sekian kilo,” imbuh Kus. Sebab, tinggi badan anak dipengaruh­i faktor genetis alias keturunan dan risiko gangguan metabolis. ”Misal, ada mbah dari ayah atau ibu yang kurang tinggi, bisa jadi menurun pada anak,” tutur dia.

Pada keluarga Reni, ada salah seorang nenek yang punya perawakan cenderung pendek dan gemuk. ”Mungkin berpengaru­h, tapi belum tahu juga. Soalnya, Rafi dan Keyla belum puber,” jelasnya.

Nah, kapan orang tua perlu waspada dengan hasil pengukuran tersebut? ”Kalau dari tiga kali pengukuran nggak naik sesuai kurva atau malah turun. Apalagi kalau anak jadi lebih mudah sakit dan nilainya turun,” tegas Kus. Bisa jadi, pemenuhan nutrisinya tidak baik.

Hal itu ditegaskan dr Irma Lestari Paramastut­y SpA BioMed. ”Anak disuruh makan banyak, nasinya ditambah. Alasannya, biar cepet gede,” ungkap spesialis anak di RS Katolik St Vincentius a Paulo tersebut. Dengan cara itu, lanjut spesialis anak lulusan Universita­s Brawijaya, Malang, tersebut, anak cenderung mengalami obesitas, tapi tingginya tidak bertambah.

”Karena gizi tidak terpenuhi itulah, akhirnya banyak anak pendek (stunting, Red). Apalagi, pada anak-anak zaman now, usia pubertas sudah dimulai saat SD,” papar Irma. Awalan pubertas, khususnya pada perempuan, muncul di umur 10 tahun atau usia kelas III atau IV SD.

Sedangkan pada anak laki-laki, pubertas biasanya berlangsun­g di usia SMP. ”Makanya, di SD atau SMP, perawakan siswi lebih besar ketimbang siswa. Tapi, di SMA, tingginya terkejar,” ungkap ibu tiga anak itu. Pertumbuha­n pesat tersebut umumnya akan berakhir pada usia 18–20 tahun, bergantung usia awal pubertas.

Kus menambahka­n, untuk ”mengejar” tumbuh kembang yang ideal, ada tiga kunci yang harus dipenuhi. Yakni nutrisi, tidur yang cukup, dan olahraga. Untuk olahraga, disarankan jenis high impact seperti basket, lari, atau sepak bola.

 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ?? TANPA ALAS KAKI: Reni Wulandari mengukur tinggi badan Keyla Aurelia Setiawan Putri dengan dibantu Rafi Abizhar Setiawan Putra.
GHOFUUR EKA/JAWA POS TANPA ALAS KAKI: Reni Wulandari mengukur tinggi badan Keyla Aurelia Setiawan Putri dengan dibantu Rafi Abizhar Setiawan Putra.
 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ??
GHOFUUR EKA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia