Sci-fi & Mitologi
BERBICARA tentang identitas tanah air, tentu seni juga memegang peranan besar dalam membentuk identitas bangsa. Indonesia, misalnya. Bagaimana Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) membakar semangat arek-arek Suroboyo pada 10 November 1945 silam lewat karyanya. Di tangan seniman muda, seni visual menjadi alat propaganda mematikan.
Atas nama identitas itulah, karya seni visual di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yang nggak dimiliki bangsa lain. Contohnya, karya Dwiki K.A., seniman muda asal Surabaya. Dalam tiap karyanya, dia acap kali membenturkan mitos-mitos Jawa.
”Sebenarnya jika kita kaji ulang, di Indonesia bisa dibilang UFO itu dekat dengan mitos kita. Kan singkatan UFO adalah unidentified flying
object, di Indonesia hantu kuyang atau hantu jantung itu juga merupakan UFO. Namun, kita aja nggak menyadari itu,” jelasnya.
Ciri utama ilustrasi Dwiki bisa dilihat dari ikon-ikon manusia nggak sempura yang bersatu dalam tubuh tumbuhan dan hewanhewan purbakala. Selain itu, sentuhan warna-warna kusam seperti sampul komikkomik lawas menjadi poin agar masyarakat bisa mengenal karyanya.
”Itu emang sengaja. Aku menganalogikan bahwa manusia, hewan, dan tumbuhan adalah sama. Filosofi ini dekat dengan budaya Jawa yang memperlakuan antar sesama makhluk hidup untuk saling menjaga dan menghargai pada kedudukann yang sama. Dan kenapa manusia nggak sempurna di sini? Karena segala masalah baik sosial, politik, agama, penyebabnya adalah ketidakwarasan kita. Dan kita adalah manusia,” ungkapnya.
Dwiki mengaku letak estetika pada karyanya bukan hanya pada keindahan gambar. Justru pada berbagai permasalahan sehari-hari yang berhasil dirangkainya sebagai bahan karyanya. ”Karena jika kita berbicara keindahan, apa yang kurang indah dari lukisan Indie Moe? Tapi, itu nggak nyata. Keadaan sosial nggak seindah itu. Maka, aku mengabungkan segala ke-chaos-an ini menjadi estetika baru dalam karyaku,” ujarnya.
Berkenalan dengan dunia seni visual sejak berusia belia, Dwiki menekuni pola visual yang membuat namanya melambung itu baru sekitar enam tahun belakangan. Lewat tangan dinginnya, Dwiki kerap menggarap karya-karya besar.
Grup band Naif, musisi kawakan Yockie Suryoprayogo, hingga sampul majalah musik
Rollingstones Indonesia berhasil diokupasi Dwiki lewat karyanya. Dalam waktu dekat, dia siap mengandeng sejumlah seniman. Mulai desainer, perfomance artist, hingga musisi dalam pamerannya yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.
Bukan sekadar pameran ala kadarnya, Dwiki memilih hengkang dari galeri dan memilih ruang-ruang kota sebagai galeri barunya. ”Pameran ini akan berjudul Mutual
Frequency. Aku akan berbagi ruang dengan seniman lain dan dua musisi lokal. Kami akan merespons gudang kosong. Karena di galeri terlalu biasa. Kami ingin lebih liar dan menciptakan fenomena baru,” tandasnya dengan nada berapi-api. (rno/c25/dhs)