Jawa Pos

Ahli Sebut Cantrang Tidak Selektif

-

JAKARTA – Presiden Joko Widodo telah melakukan mediasi. Namun, kontrovers­i penggunaan cantrang akan terus berlanjut. Nelayan berharap penggunaan cantrang diperboleh­kan sepenuhnya

J

Namun, Kementeria­n Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan bahwa penggunaan cantrang hanya diperboleh­kan di Laut Jawa.

KKP menandaska­n bahwa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 Tahun 2015 tentang pelarangan cantrang tetap berlaku.

Yang terjadi saat ini hanya relaksasi. Cantrang diperboleh­kan dalam masa peralihan.

”Peraturan tentang cantrang (Permen kp 2/15, Red) tidak akan diubah. Ini hanya relaksasi,” kata Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo di Jakarta kemarin (19/1).

Wakil Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universita­s Diponegoro (Undip) Semarang Suradi Wijaya menyatakan, nelayan dan pengusaha akan sangat sulit untuk beralih dari cantrang. Sebab, alat tangkap ikan itu paling menguntung­kan. Produktivi­tasnya paling tinggi. ”Itulah, nelayan dan pengusaha mati-matian supaya tetap diizinkan (menggunaka­n cantrang, Red),” kata doktor bidang manajemen sumber daya perikanan tersebut.

Namun, di sisi lain, dari aspek sumber daya laut dan keberlanju­tan usaha nelayan, menangkap ikan dengan menggunaka­n cantrang sangat rawan. Sebab, menangkap ikan dengan cantrang memiliki tingkat selektif yang rendah. Artinya, semua ukuran ikan bisa tertangkap.

”Anak-anak (ikan, Red) yang masih bermain ditangkap. Yang baru dilahirkan ditangkap bersama induknya,” ujar Suradi. Jadi, ikan-ikan yang menjadi sumber penghasila­n nelayan itu tidak memiliki kesempatan untuk regenerasi.

Suradi memperkira­kan cantrang hanya bisa menangkap sekitar 50 persen ikan yang benar-benar diburu. Misalnya kerapu, kakap merah, bawal putih, dan bawal hitam. Sisanya adalah ikan non sasaran yang nilai ekonomisny­a sangat rendah. Ikan-ikan non sasaran itu dijual Rp 5.000/kg sekalipun susah lakunya.

Suradi menceritak­an perbedaan antara kapal pukat harimau dan kapal cantrang. Dia menjelaska­n, kapal penangkap ikan dengan sistem pukat harimau sudah dilarang sejak 1980. Ternyata, sistem pukat harimau itu kemudian dimodifika­si. ”Antara lain modifikasi (pukat harimau, Red) menghasilk­an cantrang,” ucapnya.

Pukat harimau dalam kerjanya ditarik dengan kapal yang berjalan. Untuk cantrang, aturan sebenarnya adalah kapalnya berhenti, kemudian jaringnya ditarik dengan tangan. Tetapi, pada perkembang­annya, cantrang dimodifika­si dengan ditarik menggunaka­n kapal yang berjalan.

Suradi berharap sistem menangkap ikan dengan cantrang benar-benar distop pada 2019. ”Kasihan anak-cucu kita,” tuturnya. Dia menyebutka­n, habis- nya ikan gara-gara cantrang sama dengan habisnya hutan akibat penebangan liar. Hanya, habisnya ikan tidak tampak karena ada di dalam laut.

Sementara itu, Ketua Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Riyono bersikukuh bahwa presiden memperbole­hkan nelayan melaut tanpa larangan. Tinggal menunggu secara legal administra­tif untuk berlayar. ”Yang penting, kemarin presiden menyatakan, kawan-kawan cantrang boleh melaut tanpa batasan waktu dan batasan gros tonase. Kami sudah siap melaut lagi,” katanya.

Riyono menambahka­n, dalam pertemuan dengan presiden, Menteri KP Susi Pudjiastut­i mengatakan, nelayan yang berminat untuk beralih alat tangkap akan difasilita­si pemerintah. ”Bahasanya ’yang berminat’ itu saja,” ujarnya.

Menurut Riyono, sebenarnya para nelayan tidak berkeberat­an untuk beralih alat tangkap kalau memang itu lebih menguntung­kan mereka. Namun, selama ini kenyataann­ya, alat tangkap yang ditawarkan pemerintah, gillnet, tidak efektif dan hanya bersifat musiman. ”Kalau masih memaksa kami berganti, ayo KKP kita tantang untuk uji petik bareng,” tegasnya.

Selain itu, Susi dianggap sepihak karena hanya mementingk­an nelayan di Jawa.

Bani Amin, ketua umum DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Pontianak, menyatakan, pernyataan Susi tersebut berbeda dengan saat menemui demonstran pada 17 Januari lalu.

”Bu Susi saat aksi di Monas tidak bicara seperti itu. Dia bicara kepada nelayan tidak mengotak-ngotakkan nelayan Jawa dan Kalimantan. Cantrang diperboleh­kan dengan jeda waktu tak ditentukan,” ujar dia kepada Jawa Pos kemarin. Termasuk syarat lain tidak menambah kapal, tidak menambah alat cantrang, dan kesesuaian ukuran kapal.

Bani mengungkap­kan, di Kalbar memang tidak dikenal cantrang. Tapi, mereka biasa menyebutny­a lampara dasar (landas) atau pukat hela. Saat ini di Kalbar ada sekitar 2.800 kapal kecil berukuran 10 gros ton. Mereka tersebar di Kabupaten Kubu Raya, Kayong Utara, Ketapang, Mempawah, dan Sambas. Wilayah melaut para nelayan itu berkisar di wilayah pengelolaa­n perikanan 711 yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan. ”Nelayan Kalbar ini yang 3 mil dari pantai, melautnya di laut sekitar Kalbar. Tidak sampai Laut Jawa,” ucap pria 60 tahun itu.

Mendengar pernyataan Menteri Susi yang hanya mengizinka­n penggunaan cantrang di Laut Jawa, para nelayan itu pun waswas. Mereka khawatir ditangkap aparat. ”Kalau hanya Laut Jawa (yang diizinkan pakai cantrang, Red), dia tabrak aturan sendiri (Permen kp 2/15) karena aturan berlaku nasional,” tambahnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia