Aisyiyah dan Gerakan Ekonomi Kekinian
ORGANISASI sayap perempuan Muhammadiyah, Aisyiyah, yang tengah menggelar tanwir di Surabaya pada 19–21 Januari ini mengangkat tema menarik, Gerakan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan, Pilar Kemakmuran Bangsa. Kiprah ekonomi perempuan memang memiliki dampak yang sangat produktif. Bagi sisi domestik, menunjang ekonomi keluarga. Bagi kepentingan publik, menjaga ketahanan ekonomi negara.
Catatan terkini UN Women, badan PBB yang berdedikasi terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menyebutkan, investasi pemberdayaan ekonomi perempuan merupakan langkah utama menuju kesetaraan gender, pengurangan angka kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi inklusif.
Sayang, UN Women menekankan, hal itu tidak serta-merta mengurangi diskriminasi gender. Mereka masih terjebak rasa tidak aman, gaji yang rendah, hingga sedikitnya kesempatan meraih posisi penting. Hal itu lantas membatasi akses terhadap aset ekonomi dan pengambilan kebijakan publik. Juga, karena perempuan dibebani pekerjaan domestik yang terlampau banyak, waktu mereka hanya tersisa sedikit untuk meningkatkan peluang ekonomis.
Catatan-catatan UN Women itu amat relevan dengan esensi gerakan Aisyiyah yang tengah digalakkan. Hal tersebut tampak pada penandatanganan sejumlah memorandum of understanding (MoU) yang dilakukan PP Aisyiyah saat tanwir. MoU dilakukan, antara lain, dengan OJK serta Kemenkop dan UKM.
Kemitraan dengan OJK menandai pentingnya literasi keuangan. Literasi keuangan adalah langkah maju bagi gerakan Aisyiyah. Kecakapan itu setidaknya akan berdampak langsung pada dua hal. Pertama, mampu melakukan perencanaan keuangan yang baik. Kedua, dapat mencocokkan investasi yang tepat untuk dirinya serta memilih lembaga keuangan dan investasi yang sesuai.
Dengan literasi keuangan, gerakan ekonomi Aisyiyah tak lagi terjebak dalam rutinitas pengembangan amal usaha, tapi bisa membangun rancangan strategis pemberdayaan ekonomi yang berguna untuk keluarga maupun Aisyiyah secara organisasional.
Peran krusial perempuan di bidang ekonomi, dicontohkan Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini, tampak ketika kaum perempuan merespons krisis moneter pada 1998. Menurut dia, saat krisis terjadi, yang bisa bertahan dan menyelesaikan permasalahan ekonomi di rumah-rumah adalah kaum perempuan. Kala itu banyak suami yang kehilangan pekerjaan, tapi para istri masih bisa memperbaiki situasi dengan mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan.
Di sisi lain, kemitraan dengan Kementerian Koperasi dan UKM juga sangat strategis karena Aisyiyah memiliki lebih dari 6.000 ranting yang tersebar di berbagai kelurahan dan desa di 34 provinsi.
Yang perlu diperhatikan Aisyiyah, berbagai gerakan dan unit ekonomi yang telah dibangun harus berakar dari spirit surah Al Ma’un, sebagaimana diajarkan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan. Paradigma gerakan sosial Al Ma’un menyiratkan pentingnya membentuk masyarakat sebagai subjek sadar yang terampil dan kreatif dalam memperbaiki ekonomi kalangan menengah ke bawah.
Paradigma tersebut sangat paralel dengan pandangan penerima Nobel Amartya Sen tentang deprivasi rakyat. Bagi Sen, rakyat menjadi miskin bukan lantaran tidak ada sesuatu yang dimiliki secara material (income deprivation), tapi karena tidak mengerti apa yang semestinya dapat mereka lakukan untuk memperbaiki diri (capability deprivation). Banyak perempuan yang memiliki potensi, tapi tak bisa melakukan pemberdayaan ekonomi. Penyebabnya bukan ketiadaan finansial, melainkan mereka tak mengerti apa yang harus dilakukan. Ruang-ruang itulah yang harus terus dimasuki Aisyiyah.
Saat ini Aisyiyah telah memiliki ribuan amal usaha. Agar gerakan itu terus berkembang, Aisyiyah harus inklusif dan kekinian. Inklusif berarti harus membuka diri dengan berbagai kalangan, termasuk kemitraan internasional. Sebab, persoalan yang melibatkan perempuan telah menjadi isu global. Mulai kemiskinan, kesenjangan ekonomi, kesetaraan gender, pelanggaran HAM, hingga diskriminasi dan ketidakadilan.
Sementara itu, kekinian berarti bahwa gerakan Aisyiyah haruslah sadar digital dan menyentuh kebutuhan generasi milenial. Sekalipun sebagian besar pengurus Aisyiyah saat ini adalah generasi baby boom (yang lahir pada 1943–1960) dan generasi X (1961–1981) yang dikenal sebagai digital migrant, harus disadari bahwa anak-anak mereka (termasuk juga yang menjadi sasaran pengaderan) adalah generasi Y atau milenial (1982–2004) dan generasi Z atau homelanders (sejak 2005) yang merupakan digital native.
Jika gerakan Aisyiyah tidak sadar digital, hal itu tak hanya menghambat pola didik dan pola asuh, tapi juga dapat menghadirkan keterasingan antargenerasi. Padahal, dalam pemberdayaan ekonomi, misalnya, tanpa dibarengi dengan kecerdasan digital, pasar besar milenial akan susah didekati. Apalagi, sebagai organisasi pengaderan, Aisyiyah juga semestinya menyasar generasi milenial yang saat ini berada di tiga kategori, yaitu (1) pelajar dan mahasiswa, (2) para fresh graduate dan early jobbers yang baru saja bekerja, serta (3) para ibu muda yang memiliki anak usia balita.
Dengan gerakan yang inklusif dan kekinian, strategi pemberdayaan Aisyiyah akan tepat sasaran dan memiliki daya manfaat yang luas.
*) Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)