Jawa Pos

Pilih Jaring ketimbang Cantrang

Tak Punya Kapal yang Memadai

-

SURABAYA – Nelayan pantai utara Surabaya menyambut positif larangan penggunaan cantrang yang disosialis­asikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastut­i. Sebab, selain merusak, cantrang dianggap merugikan nelayan kecil. Mereka kalah dengan kapal besar yang bersenjata jaring berpembera­t tersebut.

”Dulu, dibahas antarnelay­an di Kenjeran. Semua sepakat tidak pakai cantrang,” ujar Sulaiman, anggota Kelompok Nelayan Dorang, Kelurahan Tambak Wedi, kemarin (19/1). Lelaki itu tak menampik, saat ini ada nelayan yang memanfaatk­an cantrang. Namun, mereka sembunyi-sembunyi dan tak banyak.

Dia menjelaska­n, cantrang banyak dipakai nelayan yang memiliki kapal besar berukuran di atas 30 GT. Mereka sering berpindah-pindah. ”Nelayan yang pakai cantrang sulit ditemui di Kenjeran dan sekitarnya,” jelasnya. Dia menambahka­n, larangan pemakaian cantrang disepakati nelayan pantai utara karena beberapa alasan. Tidak hanya mengancam kehidupan laut. Kegiatan itu dianggap mengurangi penghasila­n nelayan kecil.

Menurut Sulaiman, di Surabaya dan sekitarnya, cantrang identik dengan jaring berukuran besar. Panjangnya lebih dari 100 meter. Ciri khasnya, ada pemberat yang memungkink­an masuk ke dasar laut. Lantaran hingga dasar laut, semua biota laut dapat masuk. Bukan hanya ikan. Ada kerusakan yang ditimbulka­n. ”Sulit dilakukan nelayan pantai utara. Sebab, perahunya rata-rata di bawah 10 GT,” jelasnya.

Dia memperkira­kan tangkapan dengan cantrang bisa lebih dari 100 kilogram. Bergantung ukuran jaring. Dengan tangkapan besar, ikan bisa cepat habis. Dampaknya, nelayan kecil dengan kapal di bawah 10 GT bakal sulit mencari hasil laut. Sebab, mereka hanya mengandalk­an jaring dengan panjang kurang dari 20 meter. ”Karena pakai jaring kecil, penghasila­nnya rata-rata hanya 20 kilogram,” imbuhnya.

Menurut dia, nelayan sebenarnya ingin membuat jaring yang lebih besar. Namun, ukuran perahu menjadi kendala. Apalagi, harga perahu cukup mahal. Untuk 10 GT, harganya bisa lebih dari Rp 20 juta.

Lurah Tambak Wedi Dody Samsudin menyampaik­an, sebagian besar nelayan di wilayahnya masih mengandalk­an alat tradisiona­l. Kapalnya masih kecil. ”Susah kalau hujan. Banyak yang tidak melaut,” ucapnya. Dia menerangka­n, gotong royong antarnelay­an terus didorong. Termasuk kerja sama merawat perahu. Nelayan diajari bagaimana mengelola keuangan saat musim hujan tiba.

 ?? AHMAD KHUSAINI/JAWA POS ?? MASIH TRADISIONA­L: Nelayan di Tambak Wedi masih menggunaka­n jaring biasa untuk menangkap ikan.
AHMAD KHUSAINI/JAWA POS MASIH TRADISIONA­L: Nelayan di Tambak Wedi masih menggunaka­n jaring biasa untuk menangkap ikan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia