Jawa Pos

LEBIH TINGGI DARIPADA CUKAI ROKOK

-

THAILAND, Brunei Darussalam, Singapura, Belgia, dan banyak negara lain melarang peredaran rokok elektronik alias vape. Indonesia ”melarang” dengan cara mematok cukai setinggi langit, 57 persen!

Rokok menjadi bagian penting dalam struktur penerimaan pemerintah. Tahun lalu penerimaan cukai tembus Rp 192,3 triliun. Melampaui target Rp 189,1 triliun. Saat penerimaan pajak jauh dari target, performa penerimaan cukai itu menjadi catatan manis tersendiri. Dari total penerimaan cukai tersebut, Rp 145,48 triliun (75,65 persen) disumbangk­an rokok!

Tahun ini pemerintah menurunkan target penerimaan cukai. Hanya sebesar Rp 155,40 triliun

Sebenarnya kandungan vape dan rokok ini sama.” DR ARIANI PERMATASAR­I SPP Dokter spesialis paru RSUD dr Soetomo

Salah satu penyebabny­a adalah menurunnya produksi rokok. Untuk menutup ”lubang” itu, agar sumber penerimaan cukai tidak semakin tergerus, pemerintah pun mencari objek cukai baru. Salah satunya adalah rokok elektrik atau yang biasa disebut vape.

Menurut rencana, pemerintah menerapkan tarif cukai vape 57 persen pada Juli mendatang. Lebih tinggi dari cukai sigaret putih mesin (SPM) sekali pun yang mencapai 55 persen. Cairan rokok elektrik sebagai produk hasil pengolahan tembakau dinilai sama bahayanya dengan rokok konvension­al. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

”Itu berlaku bagi semua produk olahan tembakau, domestik atau impor. Pengenaan cukai itu untuk mengendali­kan konsumsi (karena dianggap berbahaya, Red),” jelas Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea Cukai Sunaryo dalam acara diskusi di Restoran Warung Daun kemarin (27/1).

Sunaryo menekankan, besaran tarif 57 persen tersebut didapat dari hasil pengkajian dan perhitunga­n matang. Cukai rokok elektrik itu diberlakuk­an berdasar empat hal. Yaitu pengendali­an konsumsi, peredaran barang yang perlu diawasi, dampak negatif dari barang tersebut, dan barang yang perlu pembebanan ke utang negara.

Diciptakan pada 2003 oleh ahli farmasi Tiongkok Hok Li, vape terbilang barang baru. Karena itu, aturan soal produk pengganti rokok tersebut masih sangat dinamis. Bukan hanya Indonesia, negara-negara lain juga masih terus menyempurn­akan aturan soal produk itu.

Selain PMK terkait cukai, juga ada Peraturan Menteri Perdaganga­n (Permendag) Nomor 86 Tahun 2017. Aturan tentang vape tersebut keluar pada November 2017. Permendag itu mengatur pengetatan impor vape. Dalam berita negara yang tercantum dalam permendag itu disebutkan, penggunaan vape semakin meningkat karena kian mudah memperoleh­nya di pasaran. Akibatnya, memicu bahaya kesehatan bagi masyarakat.

Pengetatan impor tersebut dilaksanak­an dengan mewajibkan importer memiliki angka pengenal impor (API) yang telah disetujui menteri perdaganga­n. Bukan hanya itu, importer juga harus mendapat rekomendas­i Kementeria­n Perindustr­ian. Salah satu syaratnya ialah harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).

Selain itu, karena produk vape memiliki aspek yang dinilai membahayak­an kesehatan, impornya pun harus mendapat rekomendas­i Kementeria­n Kesehatan maupun Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Praktis, seabrek aturan baru tersebut mendapat kritik asosiasi pengusaha vape. Mereka menilai pengenaan tarif cukai 57 persen itu terlalu tinggi.

Ketua Bidang Legal dan Business Developmen­t Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Dendy Dwiputra mengungkap­kan, pihaknya mengaku hanya sekali diajak bertemu dengan Ditjen Bea Cukai terkait penerapan tarif cukai tersebut. Selebihnya, pihaknya tidak pernah lagi diundang pemerintah untuk mendiskusi­kan hal itu.

Dendy menekankan, industri vape di Indonesia merupakan industri padat karya. ”Kami tidak anti terhadap regulasi, tapi kami harap regulasiny­a fair. Apa yang ditakutkan dari vape? Ini justru reduces risk dari dampak merokok,” jelasnya. ”Kami hanya perjuangka­n hak konsumen. Sekarang dengan wacana tarif 57 persen, UKM-UKM kecil industri ini akan gulung tikar. Padahal, pelakunya sudah sampai ribuan,” dalihnya.

Pengamat ekonomi Indef Bhima Yudhistira menuturkan, pemerintah seharusnya tidak sertamerta mengenakan cukai dengan tarif tinggi terhadap vape. Sebab, industri rokok elektrik di Indonesia masih prematur alias terhitung pendatang baru. Selain itu, jumlah penggunany­a belum banyak sehingga penerimaan dari pos cukai tersebut juga tidak akan berdampak besar terhadap penerimaan. Karena itu, pihaknya menilai pengenaan tarif cukai vape 57 persen tidak berdasar pertimbang­an yang matang.

”Kenapa pemerintah kejar yang kecil? Kita berpikir secara logika. Cukai memang sebagai instrumen pengendali­an sekaligus penerimaan negara. Tapi, masih banyak barang yang lebih berbahaya bagi lingkungan, misalnya asap kendaraan,” jelas Bhima kemarin.

Menanggapi kritik tersebut, Sunaryo menegaskan bahwa pihaknya siap melakukan pembahasan kembali dengan industri terkait. Sunaryo membantah anggapan bahwa pemerintah semata-mata mengejar cukai vape untuk menutupi penerimaan yang hilang dari cukai rokok. ”Kita (pemerintah, Red) tidak seperti itu. Untuk (pengenaan cukai) pada vape lebih karena ada bagian yang terbuat dari tembakau harus dikenakan. Ini memang upaya intensifik­asi,” paparnya.(ken/agf/sam/c9/ang)

 ?? GRAFIS: ERIE DINI/JAWA POS ??
GRAFIS: ERIE DINI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia