Jawa Pos

Identitas Warga Dititipkan, Fasilitas Umum Hasil Iuran

Sendi, Desa yang Hilang dari Peta Kabupaten Mojokerto

- IMRON ARLADO, MojokertoF­OLLY A.-TAUFIQURRA­HMAN, Jakarta

Versi pemerintah, Sendi hilang dari peta akibat agresi militer Belanda. Oleh Pemkab Mojokerto kini, desa yang terletak di antara dua destinasi wisata terkenal Jawa Timur itu akan dijadikan desa adat.

BAGI Supardi, tanah seluas 6 hektare itu jadi bukti bahwa desanya tidak muncul tiba-tiba. Ada sejarah yang tergurat dalam lahan yang dimanfaatk­an sebagai pemakaman dan tanah ganjaran itu.

”Nenek moyang kami lahir, besar, dan dimakamkan di sini,” kata pria 59 tahun tersebut kepada Jawa Pos Radar Mojokerto.

Karena itu, Supardi tak paham mengapa Sendi, desanya, bisa hilang dari peta Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Yang berbuntut pahit pada keseharian warga di lereng Gunung Welirang tersebut. ”Kami diperlakuk­an diskrimina­tif. Tidak diperlakuk­an yang manusiawi,” ujar Supardi yang oleh warga Sendi ditunjuk sebagai mbah demang

Diskrimina­si yang paling mencolok adalah nihilnya sentuhan pembanguna­n oleh pemerintah. Di kampung yang terletak di Kecamatan Pacet, jujukan wisata utama di Mojokerto, itu, berbagai fasilitas umum dibangun dengan uang hasil iuran warga sendiri.

Mulai tempat pertemuan warga hingga masjid dan tempat mengaji. Bahkan, yang paling memprihati­nkan, identitas kependuduk­an mereka dititipkan ke desa terdekat, yakni Desa Pacet, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto. Padahal, Sendi dan Pacet terpisah 7 kilometer.

Sendi terletak di tengah Cangar, jalur yang menghubung­kan Pacet dengan jujukan wisata terkenal lainnya di Jawa Timur, Kota Batu. Seiring kerap macetnya jalur utama ke Batu dan Malang dari Surabaya, terutama saat akhir pekan atau liburan, Cangar kini jadi jalur alternatif favorit.

Jalur Cangar dipenuhi tanjakan dan turunan. Beberapa di antaranya tergolong ekstrem. Di sinilah peran Sendi jadi penting. Jika melaju dari arah Batu, sebelum sampai ke Sendi, ada belasan papan petunjuk yang ”mewajibkan” pengendara berhenti di sana. Untuk mengistira­hatkan mesin dan kampas rem. Sebab, jika memaksakan diri, rem bisa blong. Ada belasan warung makan dan minum di Sendi yang dikeliling­i hutan yang bisa dijadikan tempat istirahat.

Menurut Sokeh, warga Sendi lainnya, desanya mulai hilang dari peta pemerintah­an sekitar 1989. ”Awalnya ada di peta. Kami nggak tahu kok mendadak hilang,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Mojokerto Jumat lalu (26/1).

Administra­si kependuduk­an warga pun berubah. Alamat mereka pun masuk ke Desa Pacet. Lantaran status kependuduk­an nebeng, untuk urusan listrik, warga di kampung itu baru menikmatin­ya 2017. Sebelumnya warga harus berswadaya membuat kincir air untuk menghasilk­an setrum.

Sendi berdiri di atas lahan 24 hektare. Dihuni 50 kepala keluarga atau sekitar 100 jiwa. Desa tersebut punya potensi wisata besar. Karena berada di lereng gunung, hawa desa yang di Mojokerto dikenal sebagai jujukan kuliner nasi jagung itu sejuk. Panoramany­a juga menawan. Di sekitar warung-warung yang jadi rest area, juga tersedia spot untuk kamping dan berswafoto.

Berbeda dengan Sokeh, Camat Pacet Norman Handito menyatakan, Sendi hilang dari peta sejak agresi militer II Belanda pada 1948. Saat itu Belanda melakukan pengusiran dan perkampung­an tersebut dipakai untuk kebun serai.

Seluruh penduduk pun, lanjut Norman, terusir ke Dusun Ngepre dan Gotekan, Desa Pacet. Dua dusun itu berada sekitar 1 kilometer dari Desa Sendi.

Menurut Norman, pengusiran oleh Belanda dilakukan dengan cara nakal. Warga diancam untuk cap jempol sebagai bukti menyetujui proses jual beli lahan. Sebagian yang lain dengan sistem tukar guling. ”Pengusiran tidak dilakukan secara fair meskipun ada bukti jual beli dan tukar guling,” ucapnya.

Dari data empiris yang tersimpan di kantor kecamatan, Sendi sebenarnya sudah ditempati jauh sebelum Indonesia merdeka. ”Desa ini pernah memiliki dua kepala desa, Singo Joyo di tahun 1915 sampai 1925. Sedangkan Kades terakhir adalah Singo Setro di tahun 1925 sampai 1948,” jelasnya.

Menurut Supardi, sejak awal 2000-an, warga Sendi sebenarnya sudah berjuang agar eksistensi desa mereka diakui. Meski sempat direspons Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto, tak lama kemudian mendadak lenyap. Tak pernah dilakukan pembahasan.

Tapi, belakangan berembus kabar baik. Norman menjelaska­n, Pemkab Mojokerto tengah serius mengembali­kan hak warga di kampung itu. Di antaranya dengan meregistra­sikan desa tersebut ke Pemprov Jatim dan Kementeria­n Dalam Negeri (Kemendagri).

Sucipto, pelaksana tugas Kades Sendi, menjelaska­n, nanti Sendi dijadikan desa adat oleh pemkab. Sebab, desa itu memiliki aturan tersendiri dalam menjalanka­n roda pemerintah­an. Misalnya soal pelanggara­n hukum yang dilakukan warga di kampung tersebut. Warga sudah memiliki Kutaramana­wa Sendi atau kitab perundang-undangan desa itu. ”Misalnya pelanggara­n asusila. Cukup ditangani cakrabuana (semacam pecalang kalau di Bali, Red),” terangnya.

Jika pelaku masih melakukan pelanggara­n yang sama, cakrabuana akan merekomend­asikan untuk menjalani sidang majelis adat. Pelanggar aturan yang berkali-kali melakukan kesalahan akan disanksi sangat berat. Yakni, dialihkan penanganan­nya ke hukum negara.

Di Jakarta, Menteri Desa, Pembanguna­n Daerah Tertinggal, dan Transmigra­si (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo mengungkap­kan, kewenangan penentuan desa definitif tidak berada di pemerintah daerah (kabupaten/ kota). Tapi murni berada di Kemendagri dengan usulan dari pemkab/pemprov.

Menurut Eko, biasanya penentuan desa definitif dari Kemendagri tidak bisa dilakukan sewaktu-waktu. ”Cuma sekali dalam setahun, biasanya akhir tahun,” katanya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (27/1).

Setelah ditetapkan sebagai desa definitif dan terdaftar di Kemendagri, desa tersebut otomatis akan menerima kucuran dana dari APBN melalui Kementeria­n Keuangan (Kemenkeu) yang ditransfer ke rekening pemda. ”Tapi, sebelumnya desa harus membuat musyawarah desa (musdes) untuk menetapkan APBDes (anggaran pendapatan dan belanja desa, Red),” jelasnya.

Dirjen Bina Pemerintah­an Kemendagri Nata Irawan menambahka­n, pihaknya belum mendapatka­n laporan soal kasus Desa Sendi, Mojokerto. ”Saya tidak hafal. Karena ada ribuan usulan desa baru,” ujarnya kemarin.

Terkait nasib Desa Sendi, Nata menerangka­n bahwa pihaknya hanya menindakla­njuti keputusan Pemkab Mojokerto. ”Mereka menetapkan, lalu diusulkan ke Kemendagri, nanti kami tetapkan,” ucapnya.

Supardi menyatakan, harapannya dan seluruh warga desa tak muluk-muluk. Cukup diakui sebagai warga Desa Sendi saja sudah sangat bersyukur. ”Karena perjuangan kami sejak 18 tahun silam tak pernah menuai hasil,” kata dia.

 ?? IMRON ARLADO/JAWA POS RADAR MOJOKERTO ?? TEMPAT BERISTIRAH­AT: Sepeda motor melintas di deretan warung di Desa Sendi, Pacet, Mojokerto, Jumat lalu (26/1).
IMRON ARLADO/JAWA POS RADAR MOJOKERTO TEMPAT BERISTIRAH­AT: Sepeda motor melintas di deretan warung di Desa Sendi, Pacet, Mojokerto, Jumat lalu (26/1).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia