Sarung untuk Salat dan Senjata
Samurai Jepang punya dua bilah pedang, panjang dan pendek. Para jawara Betawi juga punya dua senjata. Senjata utama berupa golok yang terselip di pinggang. Senjata kedua adalah sarung. Ya, sarung.
DULU para jawara silat Betawi atau jagoan kampung hidup layaknya masyarakat biasa. Mereka menjadi petani atau pedagang keliling. Kadang membawa dua bakul dengan sebilah pikulan. Biasanya dari bilah bambu tebal.
Tetapi, jangan salah sangka atau coba-coba merampok babe-babe yang tengah memanggul pikulan tersebut. Jika terdesak, pikulan itu bisa ditarik dari kaitan bakul dan berubah menjadi senjata.
Yang terjadi selanjutnya adalah adegan toya yang berputar-putar menggebuk para pengganggu.
’’Penggunaan toya ini adalah pengaruh dari kungfu. Dulu orang Betawi hidup berdampingan dengan etnis Tionghoa di Batavia,’’ cerita Dadang Kurnia, guru silat di Perguruan Silat Pusaka Djakarta (PSPD), kepada Jawa Pos kemarin (27/1).
Dadang sedang melatih puluhan santri di Pondok Pesantren An-Nuriyah, Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Bersama dengan Muhammad Soleh dan beberapa pelatih yang lain. Diawasi oleh Ketua Dewan Pelatih PSPD Memet.
Pakaian tradisional para pendekar silat Betawi juga belum banyak berubah sejak zaman kolonial. Kaus oblong dengan rompi tanpa kancing. Lalu, celana pangsi. Diikat dengan gesper tebal yang dikaitkan dengan ring besi. Biasanya berwarna hijau.
Untuk acara-acara resmi semacam aneka festival, palang pintu (tradisi berbalas pantun sebelum pernikahan), dan perhelatan lain, pakaian tersebut dilengkapi serong.
Serong adalah secarik kain bermotif batik betawi. Ia dililitkan ke sekeliling pinggang, lantas diikat dengan gesper. Mirip sarung. Atau kain jarit. Tetapi, panjangnya hanya sedengkul.
Untuk alas kaki, biasanya para pesilat mengenakan sandal karet yang ringan. Mereka juga tidak alpa menyelipkan sebilah golok di pinggang. Panjangnya sehasta atau dari ujung tangan hingga siku. Aksesori terakhir adalah sehelai sarung yang diselempangkan di leher.
Dulu di jalanan Batavia, tidak sulit mengenali para pendekar silat. Mereka berpakaian dengan aksesori seperti tersebut. Namun, ada perbedaan di bagian kepala.
Pendekar muda yang bangga dan arogan biasanya mengenakan ikat kepala seperti udeng. Biasanya mereka berprofesi sebagai centeng. Jadi penjaga di kebun-kebun dan mansion milik pejabat dan orang-orang kaya.
Sementara itu, ada juga babe-babe yang berkopiah atau berpeci hitam. Kalangan tersebut lebih bijak, religius, dan biasanya punya ilmu tinggi. ’’Sebenarnya kopiah itu ya buat salat. Biasanya yang pakai kopiah sudah terhitung jawara dan lebih senior,’’ terang Dadang.
Kalau golok, sih, bisa dimengerti bahwa itu adalah senjata. Tetapi, kalau sarung? Secarik kain itu pada dasarnya untuk salat. Ke manamana, seorang pendekar harus menenteng sarung. Sebagai pengingat bahwa mereka tidak boleh melalaikan salat.
Tetapi, dalam kondisi tidak membawa senjata, sarung bisa digunakan. Untuk menyerang, tinggal dilecutkan saja. Mirip Si Pitung yang menghajar gerombolan kompeni. Atau sabetkan saja ke muka lawan. Bahkan, bisa juga untuk merebut senjata lawan. ’’Begitu dibacok, dililit pakai sarung, goloknya pasti lepas,’’ terang Memet.
Tentu saja, senjata utama seorang pendekar adalah tangan dan kakinya, serta ketakwaan kepada Yang Mahakuasa. Di luar ciri-ciri tersebut, biasanya ada atribut lain yang kaitannya dengan spiritual. Memet menyebut beberapa contoh. Misalnya, cincin, jimat kalung (isim), dan gelang akar bahar.
Soal pakaian, orang Betawi memang lebih suka warna-warna meriah dan mencolok. Namun, yang paling umum pakaian silat Betawi adalah hitam dan merah.
Waktu itu, kata Memet, orang Betawi kagum melihat pakaian dan atribut orangorang Tionghoa yang serbameriah. Selanjutnya, warna pakaian berkembang bermacam-macam. Ada yang bernuansa hijau, merah, biru bahkan ungu.
PSPD sendiri memilih tetap pada warna tradisional hitam. Mengapa? ’’Ya biar kalau kotor gampang dicuci,’’ seloroh Dadang, lantas terkekeh.
Masuk akal juga...