Warna Sabuk Penanda Tingkatan
SILAT Betawi punya sistem warna sabuk atau gesper untuk menandai peringkat maupun kompetensi para pendekar. Namun, kata Dadang Kurnia, sistem itu tidak baku. Bisa berbeda antarsatu perguruan dengan perguruan lainnya.
Perguruan Silat Pusaka Djakarta (PSPD) berpusat di Manggarai, Jakarta Timur. Perguruan dengan ciri khas silat gerak cepat itu punya tingkatan sabuk.
Tingkat pertama adalah warna hijau. Ibaratnya, sang murid masih berada dalam tahap hijau. Seperti buah, belum terasa dan belum boleh dipetik.
Tingkatan selanjutnya adalah biru. Sang murid mulai menunjukkan kemampuannya. Selanjutnya merah, kemudian merah-kuning, lalu kuning. ”Buah yang berwarna kuning sudah hampir matang,” jelasnya.
Murid yang sampai pada tingkatan sabuk kuning bisa menjadi seorang asisten pelatih. Dia punya materi dan penguasaan skill yang cukup. Selanjutnya, dia akan memakai sabuk kuning-putih. Di tingkatan tersebut, sang murid sudah menjadi seorang guru atau pelatih.
Tingkat paling tinggi adalah sabuk putih. Itu adalah penggambaran kemampuan seseorang yang paripurna. Pemegang sabuk tersebut layak menjadi ketua dewan pelatih. Atau pemimpin dari beberapa guru silat.
Namun, di mana-mana, lanjut dia, seorang pendekar betawi diajarkan untuk tidak sombong. Bahwa, di atas langit, masih ada langit. Tidak boleh mentangmentang hanya karena melilitkan sehelai sabuk. Paling penting, selalu berserah diri kepada Yang Kuasa. Misalnya, tergambar dalam jurus pembuka pertama yang disebut Tindes.
Dadang memperagakannya dengan merentangkan kaki. Lantas, dia menepukkan punggung tangan kanan dengan telapak tangan kiri keras-keras. ”Plak! Bismillah mohon perlindungan,” ujarnya.