Batu yang Terbelah
HUJAN petang yang sebentar sudah cukup membikin Kota Batu basah dan tambah dingin. Barangkali itu yang mencegah warganya keluar rumah, apalagi setelah hiruk pikuk perayaan tahun baru yang macet, bising, dan sumpek.
Pantas jalan-jalan tampak lengang. Tak kelihatan lagi wisatawan kelaparan mengantre ketan di alun-alun. Galeri Raos yang menggelar pameran Sudut-Sudut Kota Batu pun sepi pemirsa pada Rabu selepas magrib, 3 Januari 2018, ketika saya dan pelukis Dadang Rukmana menyambanginya dengan sisa sedikit air hujan yang menempel di jaket.
Kecuali puluhan karya seni rupa yang minta diperhatikan, saya mendapati dua orang pria sedang bermain gitar di dekat pintu masuk, tiga orang laki-laki tengah baku bicara sambil merokok, menyeruput kopi, atau mengunyah gorengan di sisi kiridalam galeri, empat remaja laki-laki dan perempuan yang riang berswafoto di muka sejumlah lukisan yang terpajang.
Tapi, sepi itu tak berarti sunyi. Selain bunyi gitar, suara nyanyian entah apa, obrolan, dan celotehan, saya mendengar Iwan Fals bernyanyi berulang-ulang dari kotak pemutar cakram padat yang tersembunyi di gudang galeri. Di antara bunyi dan suara yang saling silang itulah saya merepsesi 75 lukisan dan tiga objek-trimatra dalam pameran yang berlangsung sepanjang dua pekan, 23 Desember 2017–4 Januari 2018, tersebut.
Harus dikatakan, mulanya membosankan, bahkan tak mengesankan apa-apa, kecuali puluhan karya seni rupawan Pondok Seni Batu lintas generasi yang dibuat sekadarnya, kalau bukan asal jadi atau ada, untuk dipajang sekenanya guna tontonan gratis liburan panjang bersama Natal dan tahun baru. Terutama 75 lukisan berukuran seragam (40 x 40 cm) berbingkai warna-warni yang hampirhampir mencederai isi, yang dipajang seperti ular panjang merayap di tengah dinding.
Sekiranya tak bersengaja datang, saya mungkin tak akan berlama-lama di pameran berpenampilan monoton itu. Karena itu, saya harus bersaksama pada pokok perupaan ke-75 lukisan dan ketiga objek-trimatra itu. Mujurnya, dalam tempo kurang dari 60 menit, setelah dua kali merunutnya, saya beroleh ’’pencerahan’.’ Bahwa di balik penampilannya yang monoton dan membosankan terdapat pikiran, perasaan, dan pernyataan penuh hikmat kebijaksanaan atas realitas sosial-politik (di) Kota Batu.
Itu tidak hanya berarti sebagai ungkapan ’’rasa memiliki’’ perupa pameran tersebut atas kota tempat mereka tinggal dan berkarya, tapi juga berharga sebagai ’’suara liyan’,’ yang boleh jadi menggelikan, menjengkelkan, atau menyakitkan, bagi penguasa di Kota Batu.
Perhatikan, misalnya, lukisan Perjanjian Gelap (2017) Supri Picaso. Lukisan bermedia campuran itu menggambarkan percakapan rahasia seorang pengusaha bakhil dan seorang penguasa batil (keduanya berpenampilan trendi dengan jas dan dasi mutakhir, tapi berwajah grotesque seperti babi gagal cloning) yang berkonspirasi di bawah pengaruh narkoba untuk memperdagangkan bukit dan gunung (di Kota Batu) sesuka-suka mereka kepada penanam modal jahil.
Di republik berperingkat ke-90 terkorup di dunia ini persekongkolan jahat semacam itu sudah biasa. Yang tidak biasa, sebagaimana tersurat di kanvas Supri, keterangan bahwa kemacetan parah yang kerap terjadi di Kota Batu, terutama saat akhir pekan dan musim liburan, merupakan intrik politik pengusaha dursila dan penguasa durjana di sana.
Boleh percaya boleh tidak. Tapi, perlu diingat, siapa yang menyangka sebelumnya jika orang nomor satu di Kota Batu, yang berkuasa seolah tanpa cela selama dua periode (2007–2012 dan 2012–2017), akan masuk bui lantaran korupsi? Apa mau dikata, permainan politik anak mantan jenderal penguasa tertinggi Kota Malang pada zaman Orde Baru itu harus berakhir antiklimaks, tamat tak terhormat sebagai pesakitan tipikor.
Maka, tepatlah A. Rokhim memberikan judul Game Over untuk lukisannya bermedia campuran, bertarikh 2017, dan berpokok perupaan potret-diri-berkacamata sang wali kota yang menjelma terdakwa KPK itu. Dari seorang penguasa menjadi tersangka rasuah, itu sungguh bukan riwayat pejabat elite nan memikat.
Demikian pula dengan riwayat Kota Batu. Berbeda dengan wisatawan, usahawan, dan pejabat pemerintahan yang memandangnya sebagai taman liburan-hiburan nan rupawan lagi menyenangkan, ladang uang bergemerincing, dan aktiva kuasa siasah, para seni rupawan Pondok Seni Batu melihatnya dengan cemas.
Yanuar Andi, misalnya, menggambarkannya dalam Tidak Ada Ruang (2017). Drawing di kanvas tersebut merupakan sebuah model pernyataan nan membuncahkan akan lingkungan sosial di Kota Batu yang terjajah bangunan serbarupa nan pongah seperti jamur beracun di musim hujan, sehingga tak menyisakan lagi lahan bagi sayuran dan buah-buahan.
Pernyataan Yanuar tersebut menjadi genting ketika saya bersua karya resin Agus Sujito, The Last Apple (2017), yang menggambarkan sepotong apel merah nongol dari seonggok batu. Dengan itu, Agus mengisyaratkan bahwa Kota Batu tak lagi pantas disebut sebagai Kota Apel karena apel akan segera punah di kota itu.
Buntungnya, nasib yang sama pun akan dialami oleh candi, gedung-gedung tua, pasar tradisional, andong, dan bukit-bukit dengan pohon-pohon hijaunya yang menopang ekosistem hayati di Kota Batu, sebagaimana tergurat dalam, antara lain, lukisan Djoeari Soebardja, Isa Ansori, Slamet Henkus, Susanto, dan Watoni.
Dengan nasib itu, Kota Batu pun menjelma kota yang terbelah dengan paradoks dan ironi yang menganga tajam di mana-mana. Pariwisata, misalnya, seperti dilukiskan oleh Agus T.K., Fajar Junaedi, dan Suwandi Waeng, bukan hanya mendatangkan laba dari citra indah, melainkan juga membukitkan sampah serta mendirikan penjara macet ekstraketat bagi warga setempat.
Apatah nasib. Sekalipun tak memuaskan sebagai tontonan, pameran Sudut-Sudut Kota Batu pada akhirnya menggugah hikmah bahwa karya seni rupa tak hanya berurusan dengan perkara estetika, melainkan juga perkara etika, terutama etika penguasa yang bertakhta atas nama dan rasa percaya warga. (*)