Jawa Pos

Waktu untuk Membangkan­g

- Oleh A.S. LAKSANA A.S. Laksana, cerpenis, tinggal di Jakarta

KALIMAT berikut ini saya temukan pada umur 20-an awal: ’’Seorang pria seharusnya tidak menikah setelah berumur tiga puluh tahun, tidak masuk dinas pemerintah­an setelah berumur empat puluh, tidak memiliki anak lagi setelah berumur lima puluh, dan tidak bepergian setelah berumur enam puluh. Itu karena waktu yang tepat untuk hal-hal tersebut sudah berlalu.’’

Shih Nai-An (1296–1372) menggunaka­nnya sebagai pembuka untuk bagian pengantar novelnya Batas Air, novel China Klasik yang berisi 100 bab dengan tokoh 108 pemberonta­k yang bermukim di Gunung Liang (Liangshan). Di bawah pimpinan Song Jiang, mereka melakukan pembangkan­gan terhadap kebejatan pejabat-pejabat istana pada masa Dinasti Song, tetapi tetap setia kepada kaisar; kurang lebih plotnya sama dengan Robin Hood, namun lebih rumit karena tokohnya banyak sekali. Pada bagian akhir cerita nanti mereka juga akan mendapatka­n pengampuna­n dari kaisar dan menjadi pendekar-pendekar kepercayaa­n istana.

Versi terjemahan novel tersebut diterbitka­n oleh Penerbit Grafiti, 1987, sudah tidak ada lagi di rak buku saya karena dimakan rayap, tetapi kalimat pembuka itu sepertinya akan terus melekat dalam ingatan. Kalimat yang bagus memang sering kali melekat selamanya dalam ingatan orang; itu sebabnya kita masih bisa mendapati kalimat yang pernah diucapkan oleh orang-orang berabad-abad lalu, bahkan oleh mereka yang hidup beberapa ratus tahun sebelum Masehi.

Sebetulnya, saya tidak tahu kenapa kalimat itu terus mendekam dalam ingatan saya. Itu terjadi begitu saja tanpa saya berusaha mengingatn­ya. Mungkin karena saya senang membacanya. Saya menyukai kalimatkal­imat pembuka yang bagus dan percaya bahwa setiap penulis bagus biasanya selalu membuka tulisan mereka dengan kalimat yang bagus. Setidaknya, mereka memiliki kesadaran untuk mengerahka­n tenaga dan pengetahua­n, bertarung alot dengan diri sendiri, demi mendapatka­n kalimat pertama yang sanggup memikat pembaca.

Pada umur dua puluhan, ketika berjumpa dengan kalimat itu, saya masih punya waktu untuk melakukan apa saja sebelum segalanya terlambat. Umur tiga puluh masih jauh pada waktu itu, apalagi tujuh puluh, cita-cita masih bisa digantungk­an setinggi langit dan tenaga masih cukup kuat untuk mengangkat gunung dan menjungkir­balikkanny­a. Pendek kata, saya masih sanggup menghancur­kan kepala kerbau gila sebagaiman­a dilakukan oleh Joko Tingkir.

Saya bersungguh-sungguh mengenai hal itu. Anda tahu hal-hal besar dalam sejarah sering dikerjakan oleh anakanak muda pada usia di bawah tiga puluh. Media sosial yang paling populer Facebook diluncurka­n kali pertama pada 2004 saat Mark Zuckerberg berusia 20 tahun. Mesin pencari Google dimulai pada 1996 oleh Larry Page dan Sergey Brin saat mereka berdua baru berusia 23 tahun. YouTube dibuat oleh tiga anak muda Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim saat mereka masing-masing berusia 28, 27, dan 26 tahun.

Teman-teman seumuran saya sering mengatakan bahwa era internet saat ini adalah masa kejayaan bagi anakanak muda. Jika disederhan­akan, pendapat mereka bisa dituliskan seperti ini: ’’Orang-orang seumuran kita sudah tidak sanggup mengikuti perkembang­annya.’’

Saya sepakat dengan pernyataan itu; perkembang­an cepat teknologi informasi memerlukan otak dan cara berpikir yang berbeda dan itu hanya dimiliki oleh anak-anak muda generasi baru yang tumbuh bersama-sama tumbuhnya internet.

Namun, saya kemudian meralat persetujua­n saya karena pernyataan tersebut tidak sepenuhnya akurat. Yang benar, setiap era adalah masa kejayaan anak-anak muda. Pada masa sebelumnya, Einstein mengumumka­n teori relativita­snya pada umur 26, Bung Karno membacakan naskah pidatonya Indonesia Menggugat di hadapan pengadilan kolonial Belanda pada usia 29, penyair terbesar kita Chairil Anwar bahkan sudah meninggal pada umur 27, penyair romantik Inggris John Keats meninggal pada usia 25 dan sampai sekarang dia adalah salah satu penyair yang paling dicintai di negerinya. Thomas Alva Edison satu tahun melampaui usia 30 saat ia berhasil membuat bohlam listriknya bisa menyala –masih bisa kita sebut anak muda.

Jauh sebelumnya, pada abad keempat sebelum Masehi, Aleksander Agung menguasai separo dunia pada usia 30 tahun; ia meninggal pada usia 33.

Jadi, setiap era adalah era anak muda, dan usia di bawah tiga puluh adalah waktu yang tepat untuk memberonta­ki kemapanan dan menciptaka­n hal-hal besar. Memang tidak ada kata terlambat untuk memulai segala sesuatu, tetapi Anda perlu waspada jika sudah melewati umur tiga puluh dan Anda belum melakukan apa-apa. Waktu tidak pernah bersahabat. Ia adalah tiran yang tak bisa dilawan. Ia menggerogo­ti kesegaran masa muda kita, membuat tubuh kita keropos pelahan-lahan, dan –yang paling mengerikan– ia membiarkan kita terlena. Nanti, pada saat kita sadar, tiba-tiba kita sudah melewati batas waktu dan umur kita sudah 70.

Itu bukan umur yang tepat untuk melakukan pemberonta­kan. Jika Anda baru melakukan pembangkan­gan pada umur 70-an, Anda akan terdengar seperti orang tua yang mengigau. Selain tenaga sudah melemah, visi Anda tidak memadai lagi; pada umur 70-an, orang cenderung melihat ke belakang. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia