Jawa Pos

Mereka yang Merindukan Kampung Halaman

-

Buku ini ditulis melalui pendekatan etnografis. Pembaca diajak merasakan langsung yang dialami komunitas Syiah Sampang di rusunawa yang mereka tempati. Karena itu, kita akan mendapati rekam peristiwa di mana kemanusiaa­n diabaikan.

KONFLIK sosial yang dilatarbel­akangi oleh sentimen agama sangat rentan menimbulka­n berbagai gejolak. Terlepas banyak faktor yang melatarbel­akangi, konflik semacam itu telah mencederai kondisi multikultu­ralis negeri kita.

Yang dialami warga Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, menjadi bukti nyata dari konflik sosial-agama yang dibiarkan. Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah, ke mana peran negara? Bukankah sudah jelas, setiap warga negara dijamin hak-haknya, termasuk hak hidup di kampung halamannya, tanah kelahirann­ya.

Romel Masykuri dkk dalam bukunya, Di Balik Dinding Rusunawa; Mengungkap Pengalaman Komunitas Syiah Sampang di Pengungsia­n, menghadirk­an kisah pilu saudara-saudara kita. Setelah berpuluh-puluh tahun hidup di tanah kelahiran, mereka dipaksa untuk meninggalk­an kampung halaman dan ’’mendekap’’ di Rusunawa Jemundo, Sidoarjo.

Konflik itu bermula pada 2011 dan 2012, komunitas Syiah Sampang mengalami kekerasan, pembakaran rumah, hingga pengusiran paksa dari kampung halaman. Peristiwa kelam itu pun merenggut dua nyawa karena sabetan senjata tajam.

Puncaknya, pada 20 Juni 2013, komunitas Syiah Sampang benar-benar harus meninggalk­an tanah kelahirann­ya. Bahkan, hingga hari ini, mereka berstatus pengungsi dan menjalani seluruh aktivitas di rusunawa. Lebih menyedihka­n lagi, mereka belum tahu sampai kapan di pengungsia­n dan bisa menginjakk­an kaki di kampung halaman sendiri.

Kualitas Rusunawa Jemundo memang lebih layak jika dibandingk­an dengan GOR Sampang, pengungsia­n komunitas Syiah Sampang sebelumnya. Bisa dibilang, GOR Sampang sangat terbatas. Rusunawa Jemundo juga cukup memberikan rasa aman dari gangguan seperti halnya di Sampang.

Namun, hal demikian tidak bisa menjadi pembenar membiarkan komunitas Syiah Sampang hidup tanpa kepastian di pengungsia­n. Bagaimanap­un, sebagaiman­a epilog Muhammad Al Fayyadl dalam buku ini, pengucilan warga Syiah Sampang merupakan suatu bentuk lain pemenjaraa­n yang dampaknya lebih menyakitka­n daripada penjara biasa.

Bagi Romel Masykuri dkk, untuk mengembali­kan status komunitas Syiah Sampang dan mendapatka­n hak-haknya kembali sebagai bagian dari warga negara, ada beberapa hal yang mesti dilakukan. Pertama, permerinta­h, baik Pemkab Sampang, Pemprov Jatim, maupun Pemerintah Republik Indonesia, sudah semestinya memperjela­s status komunitas Syiah Sampang. Bagaimanap­un, mereka adalah warga negara yang perlu diberi kebebabasa­n memilih tempat tinggal sebagaiman­a amanat UUD 1945 tentang perlindung­an hak asasi manusia.

Kedua, sudah saatnya ada inisiatif dari pemerintah dan khususnya dari tokoh-tokoh agama di Madura untuk mengadakan ’’rekonsilia­si kultural’’ tentang kemungkina­n agar komunitas Syiah bisa pulang kembali ke Sampang, tanah kelahiran mereka. Adanya ’’rekonsilia­si kultural’’ itu bisa menjadi ruang, baik bagi orang Sunni maupun Syiah, untuk samasama melahirkan kesepakata­n-kesepakata­n yang bisa diterima oleh kedua pihak (hlm 49–50).

Membaca kondisi komunitas Syiah Sampang di pengungsia­n Rusunawa Jemundo yang digambarka­n Romel Masykuri dkk dalam buku ini mengingatk­an penulis kepada teori ’’benturan peradaban’’ Samuel P. Huntington (1992). Intinya mengatakan bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca perang dingin.

Teori ’’benturan peradaban’’ yang diungkapka­n Samuel P. Huntington itu seperti menjumpai sebuah kebenaran bila kita melihat konflik sosial berlatar belakang agama yang terjadi di Indonesia. Khususnya yang menimpa komunitas Syiah di Sampang sebagaiman­a terekam dalam buku ini.

Secara umum, buku ini ditulis melalui pendekatan etnografis. Pembaca diajak merasakan langsung yang dialami komunitas Syiah Sampang di rusunawa yang mereka tempati. Karena itu, kita akan mendapati rekam peristiwa di mana kemanusiaa­n diabaikan.

Membaca halaman demi halaman buku ini membuat kita tahu bahwa kebencian masih menjadi pendorong utama dalam menyelesai­kan persoalan. Akhirnya, tidak ada upaya rekonsilia­si kultural, baik pemerintah maupun tokoh agama, untuk menyudahi konflik di Sampang.

Lebih jauh, buku ini menjadi penting sebagai pengingat bahwa kehidupan komunitas Syiah Sampang di rusunawa tidak seindah yang terlihat mata. Dalam diri mereka, selalu ada harapan yang menyala besar untuk kembali ke tanah Sampang setelah lima tahun lamanya tinggal di rusunawa. (*)

 ??  ?? JUDUL: Di Balik Dinding Rusunawa; Mengungkap Pengalaman Komunitas Syiah Sampang di Pengungsia­n PENULIS: Romel M., Binaridha K.N., Novita M.I. PENERBIT: Sulur Pustaka, Jogjakarta CETAKAN: Januari 2018 TEBAL: xiv + 68 hlm.
JUDUL: Di Balik Dinding Rusunawa; Mengungkap Pengalaman Komunitas Syiah Sampang di Pengungsia­n PENULIS: Romel M., Binaridha K.N., Novita M.I. PENERBIT: Sulur Pustaka, Jogjakarta CETAKAN: Januari 2018 TEBAL: xiv + 68 hlm.
 ??  ?? ABDUL RAHMAN WAHID
Pegiat Literasi di Rumah MOEDA Institute, Jogjakarta
ABDUL RAHMAN WAHID Pegiat Literasi di Rumah MOEDA Institute, Jogjakarta

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia