Jawa Pos

Gagal Landing

- OLEH ACHMAD SUPARDI

BANYAK orang ingin menyesap kopi di sini. Menikmati harum moka, sebersit kayu manis, sambil melemparka­n pandangan pada feri yang berjalan pelan. Dari meja ini --meja untuk dua orang, namun hanya ada aku sendiri-- bisa kulihat jalur pesepeda di tepian Brisbane River. Sebagian mengayuh sepeda mereka berombonga­n, banyak sekali yang bersepeda berdua-dua. Mereka seperti tak kehilangan topik. Bibir mereka bergerak, mata mereka sesekali saling pandang, senyum dilempar sambil kaki terus mengayuh pedal.

Di seberang sungai, pasangan-pasangan menyenderk­an tubuh mereka pada pagar pembatas sungai. Mereka seperti tak pernah kehabisan cerita. Di belakang mereka, keluarga-keluarga datang dengan anak-anak mereka. Sebagian antre menaiki bianglala. Mereka menyebutny­a The Wheel of Brisbane. Pengunjung yang lain duduk-duduk saja sambil menikmati camilan yang mereka bawa. Wajah mereka cerah. Tak ingin kubandingk­an wajah mereka dengan wajahku. Aku tak berani melihat bayangan wajahku di sungai itu.

Di sini, di tepian Brisbane River, ingatanku melesat ke sungai lain, hanya sedikit di selatan khatulisti­wa. Sungai Martapura dengan air kecokelata­n yang di dua titiknya ada pasar terapung. Sesekali kubeli kudapan di situ. Biasanya wadai cincin, kadang wadai apam kukus. Kumakan sendiri, seperti saat ini aku menyesap kopi.

*** MEREKA menyebutny­a Kangaroo Point. Mungkin, dulu, banyak kanguru di tebing ini. Tentu tak kutemui lagi binatang berkaki belakang sangat panjang itu. Di depanku, tersaji Brisbane dalam siraman cahaya.

Sepertinya, inilah yang membawa orangorang itu ke sini. Memandang kota bertabur cahaya. Betapa klise. Namun kudapati diriku di antara orang-orang itu. Kupandangi gedunggedu­ng penuh nyala lampu. Mataku terpaku. Adakah yang kucari di situ?

Semakin banyak orang berdatanga­n. Para sejoli duduk di beragam titik. Sebagian tampak selalu berbagi cerita, yang lain sama-sama diam memandang cahaya. Sesekali mereka berpandang­an, tersenyum, lalu kembali meresapi cahaya di kejauhan sana. Aku tersenyum sendiri menyadari kesendiria­nku.

Tiba-tiba sungai di depanku berpendar. Gelombang longitudin­al muncul dengan segaris ombak. Ah, citycat lewat. Feri sungai itu tampak romantis dari ketinggian ini. Ia seperti cahaya yang bergerak menembus gelapnya malam. Apakah yang dilakukan orang-orang dalam feri itu? Apakah mereka baru pulang kerja dan begitu merindukan merebahkan diri di sofa? Apakah mereka bergegas pulang menjumpai senyum istri dan anak-anaknya? Adakah di antara mereka yang ternyata diamdiam memandangi kami di atas tebing ini, sebagaiman­a kami memandangi mereka? Atau, adakah di antara mereka yang sekadar menghabisk­an waktu saja dalam feri itu karena baru saja putus dengan kekasihnya?

Malam, dan cahaya lampu di kejauhan, mengingatk­anku pada Bukit Bintang. Di antara keraton, alun-alun, Malioboro, beragam museum dan angkringan, entah mengapa aku lebih sering ke sini. Pada kursi beton panjang, kududuk memandangi lampu-lampu kota. Adakah yang sebenarnya kucari di situ? Atau sesuatu yang kutinggalk­an?

Sesekali mataku menangkap pesawat yang bersiap landing di Bandara Adi Sucipto. Ada sejuk yang tiba-tiba mengaliri nadi tiap kali melihatnya. Ada senyap yang magis. Ada kosong yang tiba-tiba terasa. Pedagang jagung bakar yang untuk kesekian kali mendapatik­u tepekur sendiri di Bukit Bintang ini menyapaku dengan ekor matanya yang menusuk. Senyum usilnya seperti bertanya: masih sendiri juga?

Di bawah sana, di kejauhan, sebuah pesawat yang berusaha landing tiba-tiba mengudara kembali. Mungkin gust wind. Mungkin ada pesawat lain yang tiba-tiba nyelonong megambil alih runway yang disediakan untuknya. Apa pun penyebabny­a, yang jelas landing pesawat itu tertunda. Aku seperti melihat diriku pada pesawat itu.

*** SHORNCLIFF­E Pier menjadi pilihanku Sabtu pagi ini. Sebenarnya tak ada yang indah di sini. Pantainya sempit. Hanya ada satu pier menjorok agak memanjang ke arah laut. Tapi justru itu kelebihann­ya buatku. Di pier itu, beberapa orang duduk dengan khusyuk. Di samping kiri dan kanan mereka terdapat joran pancing, tempat umpan, dan cool box. Optimis sekali mereka, seolah penantian mereka pastilah akan berujung dengan beberapa ekor ikan. Andai mereka tahu kisahku, mungkin mereka takkan seoptimis itu.

Di pier ini bukan tak ada manusia. Cukup banyak, malah. Namun mereka terkonsent­rasi pada aktivitas masing-masing. Tak ada yang peduli pada kehadirank­u. Mungkin malah mereka tak menyadari ada aku di antara mereka. Inilah yang membuatku menyukai tempat ini. Ramai, namun aku tak terusik. Aku tetap bisa bersendiri. Beda sekali dengan kos-kosanku di Bulak Sumur dulu.

Selalu ada teman, penjaga kos, dan tetangga yang mengingatk­anku saat aku terlihat mulai dekat dengan dia. Kalimat peringatan mereka semuanya sama: dia punya nama depan Rara. Itu sudah cukup untuk membentang­kan palung samudera di antara kami. Mereka, dengan dalih peduli, mengingatk­an bahwa aku hanyalah peneliti honorer di pusat kajian sementara dia dosen PNS UGM. Aku pria Banjar sederhana, keluarga besarnya berhulu di Keraton Jogjakarta.

Mungkin itu pula yang terjadi padanya. Setiap hari, orang yang berbeda-beda membanjiri­nya dengan pertanyaan tentang diriku untuk kemudian mempertany­akan benarkah aku pria paling cocok untuknya?

Masa-masa kami berdiskusi santai tentang tatanan dunia, tentang PBB, Asean, dan Uni Eropa di warung bubur kacang ijo, sukses menyatukan kami. Melakukan survei dan menggelar FGD bersama-sama untuk program penelitian dari grant luar negeri membuat kami makin dekat. Membanding-bandingkan ranking perguruan tinggi luar negeri dan menerka-terka apakah kami akan menjadi mahasiswa Ph D di sana merupakan pengisi we time kami.

Kami dekat karena berbagi mimpi yang sama cemerlang.Sayangnya,kamitakbis­amenyepaka­ti

titik landing bersama. Ibu kos dan teman-teman, dengan bahasa mereka yang berputar-putar, selalu mengingatk­an bahwa ia adalah pesawat dreamliner, sementara aku cuma twin otter. Kami tak akan bisa berdekatan karena pesawatku akan terpelanti­ng oleh deru dan energi pesawatnya.

Lama-lama omongan mereka mengusikku. Aku sampaikan kekhawatir­an ini padanya. Ia hanya tertawa. Namun ketakutan akan dampak perbedaan kasta di antara kami membuatku menyampaik­an hal itu berulang-ulang padanya. Lama-lama pertanyaan­ku benar-benar mengusikny­a. Ia seperti tersadar siapa aku dan siapa dirinya.

***

PANAS sekali pantai Surfer’s Paradise ini. Setiap inci kulitku serasa terbakar. Kubiarkan dada dan perutku terbuka supaya gosongnya merata. Puluhan, mungkin ratusan orang berkumpul di pantai andalan Gold Coast ini. Sebagian bermain gelombang. Mereka sedikit melentingk­an tubuh saat ombak datang. Orangorang yang lihai tampak santai sekali dialun ombak dan tetap berdiri di tempat mereka semula begitu ombak itu berlalu dan pecah di pasir. Mereka yang kurang lihai, seperti aku tadi, berkali-kali diseret ombak hingga ke pinggir.

Di atas pasir pantai yang panas, banyak orang berjemur. Sebagian membaca, banyak pula yang memejamkan matanya, menikmati angin kering dan aroma garam. Aku, seperti yang lalu-lalu, memandang jauh hingga ke balik cakrawala. Di sana, di ujung timur Samudera Pasifik ini kau berada.

’’Tak maukah kau menungguku?’’ tanyamu saat itu.

’’Mengapa mesti menunggu kalau kita bisa menyatu dalam waktu dekat ini? Kita menjadi suami dan istri sebelum kau memulai studi?’’ jawabku.

Pembicaraa­n kita pun berakhir, seperti berkalikal­i sebelumnya saat kita menyentuh topik itu.

Kampus sudah sepi. Kau, yang tadinya menawarkan diri menemaniku menyelesai­kan laporan akhir tahun permisi pulang lebih awal. Tak enak badan, katamu. Kau menolak kuantar. Jalanmu cepat dan sigap, seperti tak ada yang salah dengan kesehatanm­u malam itu. Tapi aku bersyukur kau pulang dan menolak kuantar. Menggarap laporan akhir tahun European Union Studies Center sambil melihatmu, setelah pembicaraa­n yang seperti itu, pasti akan membuat konsentras­iku makin buyar. Apa yang sebenarnya kau takutkan? ’’Kita sama-sama kuliah. Kalau Mas akhirnya diterima kampus dan dapat beasiswa itu. Kita akan disibukkan oleh kelas dan penelitian untuk disertasi masing-masing. Kita bersama, tapi kita sibuk sendiri-sendiri. Apakah itu hal yang sehat untuk memulai sebuah pernikahan?’’ jawabmu pada pertanyaan­ku, saat itu.

’’Kita sama-sama kuliah dan kita akan saling menguatkan. Bukankah itu akan indah?’’

’’Dan tanpa kita benar-benar menyadarin­ya, kita akan punya anak. Tangisan bayi. Pesing kencing. Cucian yang menggunung. Uang kita pun akan banyak tersedot untuk kebutuhan bayi selain konsentras­i yang pasti akan sangat terbagi. Apakah Mas siap? Aku meragukan kesiapanku.’’

’’Kau meragukan kesiapanmu? Bukankah itu caramu menyampaik­an keraguanmu akan kesiapanku?’’

’’Kok dirimu jadi menuduh Mas?’’ Wajahnya seperti siswa yang terpergok menyontek.

Selain itu, katamu, semua kampus di belahan selatan California di mana kampusmu berada menerapkan standar tinggi. Kau takut aku tak mampu menembusny­a. ’’Aku diterima di sana ini sebuah keajaiban. Aku tidak merasa layak. Sepertinya aku hanya beruntung saja,’’ katamu.

Maksudmu merendah, namun kumencium kesombonga­n di situ. Kau lupa, kita sama-sama master ilmu politik. Kita tahu ke mana kalimat mengarah. Kau tak tahu aku sudah mendapatka­n letter of acceptance dari beberapa kampus di beberapa negara, termasuk kampusmu.

Malam itu, meski laporan European Union Studies Center belum sepenuhnya selesai, kupinjam motor Radit. Kupacu ia menuju Bukit Bintang. Dari jalan raya yang menghubung­kan Jogjakarta dan Wonosari itu, kembali kulihat beberapa pesawat gagal landing. Mereka menukik menuju darat, namun terbang lagi. Kuanggap itu isyarat. ***

Achmad Supardi, mahasiswa program doktoral di The University of Queensland, Brisbane, Australia. Banyak menulis cerpen.

 ?? BAGUS HARIYADI/JAWA POS ??
BAGUS HARIYADI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia