Jawa Pos

Seharusnya 15 Menit, Jadi 3 Hari

-

Pelaporan harta kekayaan peserta pemilihan kepala daerah tahun ini, baik yang manual maupun online, melahirkan banyak kisah yang mengundang senyum. Ada yang tak bisa bikin e-mail, lupa mencantumk­an identitas, atau datang ke KPK tapi lupa bawa dokumen.

PONSEL pintar Rika Krisdianaw­ati berdering. Terlihat notifikasi pesan masuk di layar gawai berukuran sekitar 5 inci itu

Bergegas ketua tim pendaftara­n LHKPN KPK tersebut meraih ponsel dan membuka kiriman pesan tersebut. Sambil memicingka­n mata, pesan itu dibaca perlahan. Sedetik kemudian, dia menarik napas cukup dalam sambil mengernyit­kan dahi.

”Silakan baca SE (surat edaran, Red)!” perintahny­a dalam teks balasan yang dikirim ke nomor pengirim pesan tersebut.

Tidak lama kemudian, ponsel perempuan berjilbab itu kembali berdering. Lagi-lagi, bunyi pemberitah­uan penanda pesan masuk. Dengan wajah yang masih sedikit kesal, dia membaca setiap kalimat dalam pesan itu.

”Kalau belum membaca SE, saya minta jangan tanya dulu,” ujarnya membacakan isi pesan balasan yang dia kirim ke nomor pengguna layanan elektronik LHKPN (e-LHKPN) KPK tersebut saat ditemui Jawa Pos Rabu (24/1).

Bukan sekali itu Rika mendapat kiriman pesan via ponsel selama melayani pendaftara­n LHKPN calon kepala daerah. Berkali-kali.

Di luar itu, masih ada banyak cerita di balik layar lain yang mengundang senyum.

Misalnya, timses calon pilkada dari salah satu daerah di Sulawesi. Timses itu mendaftar LHKPN secara manual di KPK.

Nah, saat diminta membuat akun electronic mail (e-mail) oleh petugas pendaftara­n, anggota timses itu mengaku tidak bisa. Parahnya lagi, pria yang tampak masih muda dan stylish tersebut juga tidak berani membuka laptop yang disediakan.

”Padahal, HP-nya merek canggih. Akhirnya kami yang bikinkan akun e-mail,” kata Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) Pendaftara­n dan Pemeriksaa­n LHKPN KPK Kunto Ariawan.

Saat ditanya petugas, anggota timses itu ternyata sama sekali tidak tahu cara membuat akun e-mail. Akun media sosial (medsos) milik dia itu pun dibikinkan orang lain. ”Dibikinkan orang konter HP katanya,” ungkap bapak empat anak tersebut.

Sejak 8 sampai 20 Januari lalu atau selama 2 pekan, Rika bersama 29 anggota tim LHKPN KPK lainnya membuka layanan khusus bagi peserta pilkada. Baik secara online melalui aplikasi e-LHKPN maupun secara manual menggunaka­n format Excel.

Total 1.150 orang wajib mendaftar LHKPN sebagai salah satu syarat pencalonan kepala daerah. Tahun ini pelaporan harta kekayaan calon mengedepan­kan penerapan sistem online.

Dengan begitu, calon tidak perlu jauh-jauh datang ke gedung KPK di Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan. Mereka cukup mengakses sistem lewat internet di daerah masing-masing.

Pilkada sebelumnya, pendaftara­n LHKPN masih dilakukan secara manual. Yakni, dengan cara mengisi formulir (form) A bagi peserta yang baru pertama melaporkan harta kekayaanny­a dan form B untuk calon yang sudah memiliki akun LHKPN. ”Yang sekarang sebenarnya lebih simpel kalau mereka (calon pilkada) sudah paham caranya,” kata Kunto.

Tim LHKPN pilkada merupakan pegawai KPK di bawah Direktorat Pendaftara­n dan Pemeriksaa­n LHKPN KPK. Di antara 100 pegawai di direktorat itu, 30 orang ditugasi khusus mengurusi pendaftara­n dan pemeriksaa­n harta kekayaan setiap calon. Nah, Kunto merupakan ketua tim yang membawahka­n pendaftara­n sampai proses verifikasi harta kekayaan yang dilaporkan itu.

Meski sudah ada sosialisas­i jauh-jauh hari, ternyata masih banyak peserta, terutama tim sukses (timses) calon, yang kebingunga­n dengan sistem baru itu. Jadilah mereka harus sering bertanya ke petugas LHKPN.

Terutama ke petugas bagian penerimaan pendaftara­n. ”SE dan tutorial sebenarnya juga sudah kami sosialisas­ikan,” jelas Kunto.

Ada 40 persen atau 500 orang di antara 1.150 peserta calon yang membutuhka­n waktu 3 hari untuk menyelesai­kan pendaftara­n LHKPN. Padahal, idealnya, mereka bisa menuntaska­n tahapan itu dalam waktu 15 menit saja.

”Kalau ditotal, ada 40 persen yang mendaftar menggunaka­n format Excel dan 60 persen lewat online,” ujar pria yang genap berusia 40 pada tahun ini tersebut.

Ada cerita bakal calon bupati yang datang ke KPK tanpa membawa dokumen kekayaan yang didaftarka­n. Akhirnya, calon itu pun diminta pulang dan mengambil berkas-berkas tersebut.

”Ada juga calon yang datang ke sini (KPK), tapi dokumennya dikirim lewat pos. Jadi, orangnya sudah sampai, tapi dokumennya belum,” tutur Kunto sambil menahan tawa.

Sebagian besar, kesalahan-kesalahan sepele yang terjadi dalam pendaftara­n LHKPN tersebut terjadi karena kurang cermatnya timses calon dan calon itu sendiri. Misalnya, tidak mencantumk­an kode calon pilkada saat mengirim surat dokumen ke KPK hingga kesalahan memasukan data angka kekayaan. Kesalahan-kesalahan itulah yang membuat proses LHKPN selesai berhari-hari. ”Banyak surat yang tidak mencantumk­an identitas. Jadi, bagian persuratan KPK tidak langsung menyerahka­n ke kami (LHKPN, Red),” terangnya.

Padahal, dalam sehari, ada ribuan surat yang masuk ke KPK. Dengan demikian, surat yang nyasar sangat sulit ditemukan. ”Kami jemput bola. Setiap hari kami ke bagian persuratan untuk mengecek apakah ada calon yang mengirim surat.”

Faktor lain yang membuat pendaftara­n LHKPN menjadi lama adalah tidak stabilnya jaringan internet yang digunakan calon. Penyebab lain, sulitnya menghubung­i nomor pribadi timses calon.

Dua kondisi itu membuat tahap skrining dan validasi kekayaan yang didaftarka­n terhambat. ”Kami menelepon mereka (calon) kalau ada data yang kurang cocok,” ungkapnya.

Kunto menambahka­n, setelah pendaftara­n, tim LHKPN memverifik­asi harta kekayaan yang dilaporkan. Ada enam orang di bagian itu. Mereka mencocokka­n isian data yang tercantum di formulir pendaftara­n dengan dokumen pendukung yang dilampirka­n.

”Ada juga tim yang turun ke lapangan untuk mengecek kekayaan yang dilaporkan,” imbuh jebolan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) itu.

Secara umum, Kunto menyatakan, kesalahan sepele tersebut hampir dilakukan seluruh calon. Bukan hanya calon dari daerah pinggiran, tapi juga calon yang mengikuti kontestasi pilkada di Jawa.

Selain karena kurang teliti, kesalahan tersebut disebabkan lemahnya sumber daya manusia (SDM) timses calon.

Semoga kebingunga­n calon saat mendaftark­an harta kekayaan itu tidak menjadi kebiasaan saat terpilih nanti. Sebab, bila mengurus harta saja bingung, bagaimana nanti menyelesai­kan persoalan masyarakat yang lebih rumit?

 ?? FEDRIK TARIGAN/JAWA POS ?? WAJIB: Suasana ruangan LHKPN di KPK, Jakarta, pada Rabu (24/1). Para peserta pilkada 2018 wajib menyertaka­n LHKPN saat mendaftar di KPU.
FEDRIK TARIGAN/JAWA POS WAJIB: Suasana ruangan LHKPN di KPK, Jakarta, pada Rabu (24/1). Para peserta pilkada 2018 wajib menyertaka­n LHKPN saat mendaftar di KPU.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia