Jawa Pos

Dilema Penjeraan Narkotika

- M. FATAHILLAH AKBAR*

NEMO prudens punit quia peccatum est sed ne peccatur bermakna ”seorang bijak menjatuhka­n pidana tidak sekadar karena ada kejahatan, namun agar tidak ada lagi kejahatan”. Ungkapan filsuf Seneca pada zaman Romawi tersebut merujuk sanksi pidana yang seharusnya bersifat general deterrence atau penjeraan secara umum.

Harapannya, pidana yang dijatuhkan terhadap seseorang dapat memberikan efek jera bagi masyarakat pada umumnya agar tidak melakukan apa yang telah dilakukan terpidana. Ironisnya, dalam tindak pidana narkotika, penjeraan adalah hal yang sangat sulit dicapai. Tengok saja, belum lama berselang Arifin alias Apin Lihu yang seharusnya menjalani pidana di lapas ditangkap di hotel bersama istrinya. Artinya, big boss narkotika itu leluasa keluar masuk penjara dan dapat diduga kembali menjalanka­n bisnisnya.

Lebih parah lagi kasus Andi Salim. Penghuni Rutan Kelas I-A Tanjung Gusta, Medan, itu bahkan memproduks­i ekstasi di selnya. Kasus Freddy Budiman, terpidana mati yang dapat mengontrol peredaran narkotika dari Lapas Nusakamban­gan, juga menambah catatan buruk pemberanta­san narkotika.

Pada dasarnya, UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah mengatur aspek pidana yang cukup kuat sampai ancaman pidana mati. Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 juga telah menyatakan, pidana mati dalam UU Narkotika (saat itu masih UU Nomor 22 Tahun 1997) merupakan hal yang konstitusi­onal.

Dasar pertimbang­an MK, narkotika termasuk serious crime. Dalam pasal 6 Konvensi Internasio­nal Hak Sipil dan Politik yang telah diratifika­si Indonesia dengan UU Nomor 12 Tahun 2005, pelaku kejahatan narkotika dapat dijatuhi pidana mati.

Putusan MK tersebut juga menggarisb­awahi dampak yang ditimbulka­n dari penyalahgu­naan narkotika terhadap generasi muda dan masyarakat. Dengan begitu, pidana mati diharapkan dapat menjadi paksaan psikologis bagi masyarakat untuk tidak melakukann­ya.

Cukup disayangka­n, tidak sedikit kasus peredaran narkotika yang dikendalik­an terpidana mati. Vonis mati justru terlihat sebagai semangat nothing to lose untuk kembali menjalanka­n produksi narkotika.

Dalam hukum pidana di Indonesia, konsep yang dipakai dalam pemidanaan adalah pidana mati akan mengabsorb seluruh jenis pidana. Dengan begitu, seorang terpidana mati yang mengulangi tindak pidana lainnya tidak dapat dijatuhi pidana tambahan apa pun. Walaupun tindakanny­a itu dapat menjadi dasar bagi jaksa untuk segera mengekseku­si mati pelaku.

Kesimpulan­nya, pidana mati tetap dibutuhkan. Namun, pencegahan serta sistem pemberanta­san narkotika untuk mencegah terbentukn­ya industri dan distribusi ilegal narkotika masih perlu diperbaiki. Salah satunya dengan membentuk UU khusus.

Saat ini UU Narkotika masih merupakan gabungan dari hal administra­si dan tindak pidana penyalahgu­naan narkotika. Hal tersebut menjadikan UU Narkotika sebagai administra­tive penal law atau hukum pidana administra­tif. UU tersebut menjadi sangat luas, yakni mengatur administra­si penggunaan narkotika yang diperboleh­kan hukum sekaligus membahas tindak pidananya.

Jika dibentuk UU khusus yang mengatur tindak pidana narkotika, tentu dapat diatur dengan lebih fokus hal-hal yang bersifat khusus. Misalnya proses peradilan yang lebih rigid dan detail. Konsep UU khusus itu dapat merujuk UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pembalakan Liar. UU tersebut merupakan UU yang secara khusus membahas tindak pidana. Bentuk khusus UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang lebih bersifat administra­tif. Hasilnya, sejak UU 18/2013 disahkan, pemberanta­san illegal logging lebih meningkat daripada sebelumnya.

Hal yang sama dapat di implementa­si kan pada tindak pidana narkotik a. Saat ini UU Narkotika adalah satusatuny­a UU pidana administra­tif yang memuat ketentuan pidana mati. Selain UU itu, seluruh pidana mati sudah diatur dalam UU yang secara khusus mengatur pidana. Mulai tindak pidana korupsi, terorisme, sampai perdaganga­n orang.

Setelah menciptaka­n peraturan khusus, dapat dikaji institusi dalam sistem peradilan pidana narkotika. UU Narkotika telah mengamanat­kan terbentukn­ya Badan Nasional Narkotika (BNN). BNN merupakan institusi penegak hukum khusus karena memiliki kewenangan penyelidik­an dan penyidikan. Mereka juga diberi beberapa ”amunisi khusus”. Misalnya, dapat melakukan undercover buy atau pembelian terselubun­g, di mana dalam tindak pidana umum hal tersebut tidak dapat dibenarkan.

Jika dibandingk­an antara BNN dan KPK, BNN memiliki cabang di setiap provinsi dan beberapa kabupaten/kota. Sedangkan KPK hanya memiliki lembaga di pusat. Hal itu seharusnya menjadi peluang bagi BNN agar dapat lebih baik dalam mencegah peredaran narkotika.

Perbedaan mendasarny­a saat ini, BNN dan kepolisian seakan setara dalam penanganan tindak pidana narkotika. Sebab, tidak terdapat fungsi koordinasi dan supervisi sebagaiman­a dalam relasi kepolisian dengan KPK.

Dengan kekuatan sumber dayanya, BNN seharusnya dapat meningkatk­an pencegahan dan pemberanta­san narkotika. Kuncinya adalah penguatan hukum materiil dan pembanguna­n legal structure yang tepat. (*) * Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universita­s Gadjah Mada (UGM)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia