Latihan Bela Diri Mengenakan Baju Kerja
Peniti dan jarum pentul yang biasanya digunakan untuk merapikan jilbab bisa dimanfaatkan jadi alat untuk melawan penjahat. Asal bisa mengontrol emosi, perempuan bisa melindungi diri. Itu sebagian tip yang diajarkan Muslimah Self Defense.
CELURIT tajam terarah ke wajah Ummu Salamah. Tak sampai sedetik, tangan kiri perempuan yang kerap disapa Salma itu menangkap pergelangan tangan pria yang menghunuskan celurit tersebut. Disusul kemudian tangan kanan Salma yang mencengkeram genggaman penjahat itu. Dengan sekali sentak, tangan penjahat tersebut dipelintir Salma. Celurit pun jatuh. Bersamaan dengan itu, tubuh pria gempal tersebut ikut tersungkur.
Tanpa perlawanan berarti, Salma berhasil menghalau tindakan yang bisa saja mengancam nyawanya. ’’Semuanya paham ya. Sekarang tinggal dicoba berpasangan,’’ ujarnya kepada lima perempuan di sekelilingnya. Apa yang dilakukan Salma Kamis malam (25/1) itu merupakan salah satu teknik menghadapi penjahat dengan senjata tajam di tangan
Dia merupakan seorang instruktur bela diri di Muslimah Self Defense (MSD).
MSD merupakan sebuah bentuk teknik perlindungan diri yang dirancang khusus agar mudah dipraktikkan perempuan. MSD dikembangkan perguruan pencak silat Chakra V mulai 2011 lalu. Namun, namanya bukan MSD, hanya self defense atau ilmu pertahanan diri. Setelah enam tahun berjalan, self defense sempat vakum hampir setahun. Barulah awal 2018 ilmu pertahanan diri tersebut berkembang lagi dengan nama MSD.
Teknik bela diri yang diajarkan MSD diambil dari inti gerakan silat warisan keluarga Kesultanan Bangkalan yang hingga kini terus dipertahankan generasi penerusnya, Mas Muhammad Amien.
Gerakan MSD dirancang agar bisa langsung dipraktikkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ditemui sehari-hari. Misalnya, gerakan menangkis pukulan lawan. Biasanya, untuk mempelajari gerakan itu, seseorang harus melewati delapan kali gerakan dasar silat. Namun, MSD langsung pada penerapan gerakan menangkis tersebut. Gerakan itu akan diulang terus hingga peserta latihan terbiasa dan secara refleks bisa menangkis dengan sempurna.
Menempati sasana latihan Chakra V di Kelurahan Ampel, Semampir, MSD diadakan saban Kamis malam setelah magrib. Pesertanya memang dibatasi. Per kelas maksimal lima belas orang. ’’Biar maksimal latihannya,’’ ujar Amien.
Pesertanya beragam. Dari pelajar, mahasiswa, karyawan, hingga ibu rumah tangga. Selama dua jam mereka digembleng dengan teknik-teknik MSD. Anak-anak juga bisa ikutan.
Biar terasa nyata, mereka yang berlatih MSD mengenakan pakaian saat beraktivitas seharihari. Misalnya, yang bekerja kantoran menggunakan blazer dan rok panjang. Karena itu, orang berpendapat latihan mereka hanya asal-asalan. Ada yang pakai rok dan ada juga yang memakai celana. ’’Tujuannya membiasakan mereka menggunakan teknik MSD dengan kondisi sehari-hari,’’ terang Amien.
Misalnya, yang terbiasa menggunakan kerudung panjang tidak perlu ribet atau butuh penyesuaian saat menerapkan MSD maupun saat terjadi tindak kejahatan. Saat di lapangan mereka tidak ragu atau canggung akibat hijab yang digunakan. Bahkan, menurut Amien, pakaian mereka juga bisa jadi bagian dari senjata untuk perlindungan diri.
MSD menekankan pada pentingnya pengendalian emosi dan pikiran. Saat terjadi tekanan biasanya perempuan cenderung lebih sensitif. Di MSD, perempuan diajari tidak panik saat menghadapi situasi yang membahayakan. ’’Perempuan pasti langsung ketakutan dan hampir nyerah kalau dalam kondisi terancam,’’ jelas Salma. MSD perlahan mengubah karakter seseorang untuk lebih siap menghadapi kondisi tersebut.
Perempuan 23 tahun itu menyatakan, MSD membiasakan perempuan menggunakan senjata seadanya. Mulai jarum pentul di kerudung, bolpoin, peniti, dan pakaian mereka sendiri. Tak disangka senjata seperti itu lebih efektif ketimbang harus menyimpan senjata tajam dan membawanya ke mana-mana.
Saat latihan ada banyak jenis senjata yang digunakan. Selain celurit, ada pistol, belati, dan tongkat pukul. Replika senjata yang digunakan pun disesuaikan dengan aslinya. Baik berat maupun ukurannya sama persis. Tujuannya, peserta latihan terbiasa dengan senjata-senjata tersebut. ’’Replika itu ada juga yang sengaja kami beli di luar negeri karena di Indonesia tidak ada,’’ tutur Amien.
Sebelum masuk ke jurus baru, instruktur mengajak peserta untuk mengulang gerakan yang butuh kepekaan berulang-ulang. Sesekali peserta diajak untuk langsung mempraktikkan teknik yang didapat. Amien menjelaskan, biasanya MSD menyediakan satu mobil untuk latihan. Di sana peserta berlatih menghadapi ancaman saat berada di dalam mobil. ’’Begitu juga dengan ancaman lain seperti di ATM atau di jalan-jalan sepi dan naik motor,’’ ujar pria 45 tahun tersebut.
Banyak hal positif yang dirasakan para peserta MSD. Salah satunya, Sholekah Istiqomah yang sudah empat kali mengikuti pertemuan MSD. Ibu tiga anak itu merasakan perubahan dalam dirinya, terutama masalah kewaspadaan dan kepercayaan diri. ’’Rasanya lebih bisa melihat situasi dan kondisi, ini bahaya atau enggak ya?’’ katanya.
Apalagi, ke mana-mana ibu rumah tangga tersebut selalu membawa serta ketiga anaknya yang masih kecil. Teknik yang didapat pun sangat bermanfaat untuk berjaga-jaga jika terjadi hal yang tak diinginkan. ’’Badan juga lebih segar karena itu seperti senam,’’ ungkapnya.
Setiap akhir sesi latihan, selalu ada waktu diskusi yang disediakan. Waktu diskusi tersebut biasanya digunakan untuk membahas hal-hal terbaru seputar pertahanan diri. ’’Biasanya kami lihat YouTube, lihat ada kejadian kriminal baru seperti apa,’’ ujar Salma.
Dari sana mereka mempelajari apakah ada cara baru dari para pelaku kriminal itu dalam melakukan kejahatan. Kalau ada yang baru, mereka berdiskusi soal teknik apa jika saja kejadian kriminal tersebut menimpa mereka. ’’Makanya, MSD ini harus rajin-rajin pantau berita kriminal,’’ ucap Salma.
Meskipun berlabel MSD, mereka tidak menutup kesempatan bagi nonmuslim yang ingin bergabung di sana. Amin menyatakan, tidak ada batasan bagi siapa pun untuk belajar pertahanan diri itu. Dia dengan senang hati menerima siapa saja untuk belajar.
Termasuk bagi para difabel. Khusus difabel, Amien melihat dulu bagian motorik mana yang kurang. Nanti teknik bela diri yang digunakan menyesuaikan dengan keadaan tubuh. Misalnya, jika cacat pada tangan, tentu fungsi kaki sebagai alat bela diri lebih dimaksimalkan.
Sekali pertemuan peserta cukup membayar Rp 30 ribu saja. Namun, khusus bagi orang yang kurang mampu dan anak yatim, Amin menggratiskannya. ’’Datang saja langsung ke sini setiap Kamis, pasti kami terima,’’ katanya.