Jawa Pos

Tekanan Hebat Picu Depresi

Pelaku Bunuh Diri Belia Kian Meningkat

-

Akhir-akhir ini bunuh diri menjadi bagian berita sehari-hari. Pelakunya berasal dari beragam usia. Dewasa, remaja, maupun anak-anak. Salah satu tandanya, menyampaik­an pesan secara tersirat di media sosial.

BUNUH diri bukanlah keputusan instan. ”Mengetahui alasan anak untuk melakukan bunuh diri tidak mudah. Sebab, untuk mencapai keputusan itu, sebenarnya seseorang melalui beberapa tahap,” tegas Jony Eko Yulianto SPsi MA.

Dosen Fakultas Psikologi Universita­s Ciputra Surabaya itu menyatakan, keinginan bunuh diri muncul jika seseorang mengalami tekanan hebat. Salah satu contohnya, tuntutan mendapat nilai sempurna tapi tanpa dukungan.

Alumnus Universita­s Gadjah Mada, Jogjakarta, itu menyayangk­an tidak sedikitnya orang tua yang hanya memberikan perhatian kalau anak memenuhi target tersebut. ”Anak nggak dapat apa pun saat nilai bagus. Tapi, waktu nilai jelek, anak dimarahi habis-habisan. Hal tersebut jelas tidak adil,” ujarnya.

Kondisi itu, menurut dia, akan membuat anak merasa tidak diterima. ”Pun ketika, misalnya, anak ‘ditolak’ atau dikucilkan di kelas karena

nggak punya smartphone. Intinya, anak berbeda tidak diterima,” paparnya.

Persepsi itu bisa menjadi racun jika anak tidak mendapat pertolonga­n. Anak merasa mendapat tekanan dan sangat kecewa sehingga timbul depresi. ”Dalam kondisi itu, seseorang akan sulit untuk berpikir jernih. Saat itulah keinginan bunuh diri muncul. Baik pada dewasa, anak-anak, siapa pun,” tegas pria yang bergabung di laboratori­um CONS-PSY Universita­s Ciputra tersebut.

Sebenarnya orang-orang yang rentan melakukan bunuh diri itu telah memberikan isyarat. Misalnya lewat unggahan media sosial. Sayang, hal tersebut kerap disepeleka­n. ”Nah, selama proses itu, si pelaku biasanya mengalkula­si kematian. Mereka umumnya berpikiran, setelah mati tidak akan mengalami hal-hal yang menyulitka­n mereka lagi,” beber Jony.

Namun, tidak berarti orang-orang dengan kecenderun­gan bunuh diri lantas melakukan hal tersebut. Kalau tidak atau belum berani, tentu mereka tak akan nekat. Yang jelas, menurut Jony, keinginan bunuh diri tidak hanya dimiliki mereka yang didiagnosi­s mengalami gangguan mental.

Untuk menekan keinginan bunuh diri, penanganan yang dilakukan harus menyeluruh dan hati-hati. ”Ajak mereka untuk memeriksak­an diri secara medis supaya dapat terapi tepat,” imbuh dr Hendro Riyanto SpKJ MM. ”Peminat” jalan pintas itu harus mendapatka­n pendamping­an intens. ”Jangan sampai begitu kelihatan baikan, mereka ditelantar­kan. Pantau terus dan dengarkan mereka,” katanya.

Apalagi, spesialis kesehatan jiwa RSJ Menur itu menyatakan, pelaku bunuh diri di usia belia kini kian meningkat. Dari hitungan kasar, 20–30 persen pelaku masih berusia di bawah 18 tahun. Hendro tidak menampik kenyataan tersebut. ”Anak-anak sekarang punya tingkat stres yang lebih tinggi jika dibandingk­an dengan anak-anak zaman dulu. Sejak kecil, anak punya tuntutan tinggi,” ucapnya. Dia mencontohk­an, konsep taman bermain

(playgroup) sekarang jauh lebih kompleks. Fungsinya bukan lagi untuk bermain, melainkan untuk sekolah. Anak sudah diajari calistung (baca, tulis, dan berhitung) serta beban akademis akan naik seiring mereka beranjak ke SD.

Untuk penanganan, Hendro menjelaska­n, keluarga harus menjadi ”ring satu” alias supporting

system pertama. Namun, kondisinya akan berbeda ketika pelaku berusia remaja. ”Di usia remaja, anak lebih percaya kepada teman. Jadi, untuk memantau, orang tua harus dekat dengan teman si ABG,” papar Hendro.

Hendro maupun Jony menekankan, anak yang memiliki kecenderun­gan depresi atau stres tinggi sebaiknya dihindarka­n dari pemicu. Termasuk tayangan, bacaan, maupun berita yang mengekspos kisah bunuh diri. Hal itu, menurut Jony, malah menguatkan anak untuk melakukan tindakan nekat.

Sementara itu, menurut Hendro, langkahlan­gkah yang ditunjukka­n tokoh dalam melakukan bunuh diri akan cenderung ditiru. Arahkan anak untuk membuka diri. Baik kepada orang tua, kerabat yang dipercaya, sahabat, maupun psikiater atau psikolog. (fam/c11/nda)

 ?? HANUNG HAMBARA/JAWA POS - MODEL: UKM TEATER UNIVERSITA­S SURABAYA ?? STRES BERAT: Yull Kenny Betma Suweni (tengah) memperagak­an secara teatrikal kondisi penuh tekanan dari Riki Pradata, David Hariadi, dan Christina Halim. Kondisi serupa di dunia nyata para remaja sering memberi dampak berat secara psikologis.
HANUNG HAMBARA/JAWA POS - MODEL: UKM TEATER UNIVERSITA­S SURABAYA STRES BERAT: Yull Kenny Betma Suweni (tengah) memperagak­an secara teatrikal kondisi penuh tekanan dari Riki Pradata, David Hariadi, dan Christina Halim. Kondisi serupa di dunia nyata para remaja sering memberi dampak berat secara psikologis.
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia