Olah Serabut Kelapa Menjadi Genting
Empat mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menyabet posisi pertama dalam Green Wave Environmental Care Competition. Mereka membuat Cofiter (coco fibers converter). Alat pengolah limbah serabut kelapa menjadi genting.
EMPAT mahasiswa ITS Departemen Teknik Transportasi Laut itu adalah Rachmad Ananto Wicaksono, Zeffri Irawan, Shinta Johar Alif Rahadi, dan Dwiki Febrianto. Mereka mendapat nilai tertinggi dalam ajang Green Wave Enviromental Care yang dihelat Sembcorp Marine, Singapura, pada Jumat (2/2).
Saat dijumpai kemarin (5/2), mereka antusias mengeluarkan rangkaian prototipe Cofiter di atas meja santai dekat taman fakultas kelautan. Satu per satu kerangka disusun hingga menjadi alat yang utuh. Mulai mesin pengupas kelapa, penghalus serabut kelapa hingga menjadi partikel kecil, mesin mixer bahan baku, dan pencetak genting
Cofiter merupakan rangkaian mesin pengolah limbah sampah serabut kelapa hingga menjadi genting. Ide itu menarik perhatian 15 juri dari berbagai bidang, baik akademisi maupun pengusaha perkapalan internasional. Tim tersebut berhasil membawa pulang penghargaan Best Champion, Best Presenter, Merit Award, dan Commendation Award.
Wicak, sapaan Rachmad Ananto Wicaksono, mengatakan bahwa pembuatan Cofiter berawal dari ide sederhana. Pada awal 2017, mereka mencari kasus di pesisir pantai Banyuwangi yang dekat dengan rumah Zeffri.
Mereka mengunjungi Desa Bomo, Kecamatan Blimbingsari. Di sepanjang pantai, mereka menemukan banyak sampah batok kelapa. Sampah tersebut berserakan. Sebagian menggunung sehingga merusak keindahan pantai. ’’Kami yakin kasus sampah batok kelapa terjadi hampir di setiap pesisir pantai di Indonesia,’’ ujar Wicak.
Dari situ, Wicak bersama tiga temannya membuat inovasi pengolahan limbah serat kelapa. Riset pun dilakukan. Hingga akhirnya ide tersebut mengarah pada kebutuhan konstruksi pembangunan. Yakni, genting. ’’Di beberapa negara, banyak yang memanfaatkan serat kelapa untuk kerajinan tangan. Tetapi, kami ingin pemanfaatan yang lebih besar,’’ kata mahasiswa semester VI itu.
Wicak menjelaskan, serat kelapa memiliki kandungan silikon dioksida (SiO2), magnesium (MgO), aluminium oksida (Al2O3), dan air. Kandungan tersebut bisa menjadi salah satu bahan baku pembuatan genting.
Selama ini genting dibuat secara konvensional dan modern. Pembuatan genting modern umumnya menggunakan bahan beton, yakni campuran semen, pasir, dan air. Meski kuat, penggunaan semen yang terlalu banyak membuat genting jadi terlalu berat.
Dengan memanfaatkan serabut kelapa, penggunaan semen bisa dikurangi. Jadi, genting yang dibuat menjadi lebih murah dan ringan. Hal itu pasti berpengaruh pada pengurangan biaya konstruksi bangunan. ’’Kalau genting yang dibuat ringan, penyangga bangunan tidak terlalu besar,’’ jelasnya.
Menurut mereka, Cofiter sejatinya bukan alat baru. Namun, empat mahasiswa tersebut berhasil menggabungkan beberapa mesin menjadi satu hingga tercipta produk baru tersebut. Zeffri mengatakan, inovasi itu dibuat agar penduduk desa pesisir pantai yang mayoritas bekerja sebagai nelayan bisa hidup lebih baik.
Jika hanya mengandalkan tangkapan ikan, para nelayan tidak mendapatkan penghasilan ketika cuaca buruk. Dengan alat tersebut, masyarakat bisa menambah pemasukan lewat limbah serat kelapa yang bisa dijadikan genting. ’’Pantai jadi bersih dari limbah kelapa, penduduk lokal juga bisa lebih sejahtera,’’ paparnya.
Uji coba sudah mereka lakukan sekitar setahun. Lima belas serat kelapa yang diolah bisa diubah menjadi 20 genting. Sekali mesin bekerja membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Shinta menambahkan, proyek tersebut akan terus dikembangkan. Saat ini mereka dalam tahap penelitian menguji ketahanan genting. ’’Rencananya kami diberi kesempatan Sembcorp Marine untuk penelitian itu selama sebulan di Singapura. Tetapi masih menunggu kabar lagi,’’ ucap Shinta.