Jawa Pos

Seandainya Ada Sebastian Pinera

-

ADA banyak pertanyaan di balik peristiwa robohnya tembok Jalan Perimeter Selatan underpass KA Bandara Soekarno-Hatta pada Senin (5/2). Tembok yang baru diresmikan pada 2 Januari lalu itu tiba-tiba runtuh, kemudian diikuti longsornya tanah di sekitarnya. Beton dan tanah tersebut menimbun sebuah mobil yang ditumpangi dua perempuan, Dianti Dyah Ayu Putri dan Mukhmainna­h.

Basarnas dan petugas gabungan berhasil mengevakua­si dua korban tersebut setelah tertimbun sejak pukul 17.00. Proses evakuasi mulai dilakukan dua jam setelah kecelakaan. Dianti berhasil dievakuasi kemarin dini hari (6/2), yakni pukul 03.00. Sedangkan Mukhmainna­h baru berhasil dikeluarka­n pada pukul 07.00.

Tentu kita harus mengapresi­asi upaya tim penyelamat yang bekerja tanpa kenal lelah. Tapi, kita juga harus prihatin jika melihat lamanya proses evakuasi tersebut. Kematian memang takdir. Namun, seandainya evakuasi bisa dilakukan dengan lebih cepat dan lebih modern, mungkin jatuhnya korban jiwa bisa dihindari. Minimnya peralatan yang dimiliki Basarnas menjadi salah satu penyebab lambannya proses evakuasi korban. Memang dibutuhkan leadership yang kuat untuk misi penyelamat­an yang dramatis seperti itu.

Sayang memang, drama penyelamat­an yang disiarkan langsung sejumlah stasiun televisi swasta tersebut tidak happy ending sepeti kisah penyelamat­an 33 pekerja tambang yang tertimbun selama 69 hari di Cile delapan tahun silam. Saat itu Presiden Cile Sebastian Pinera memimpin langsung penyelamat­an para pekerja tambang tersebut.

Seandainya kita punya tokoh seperti Pinera, bukan tidak mungkin dua nyawa yang terjebak di dalam mobil yang penyet karena tertimbun beton itu bisa diselamatk­an. Dengan kehadiran presiden, proses untuk mendatangk­an alat-alat berat bisa lebih mudah dan cepat.

Sekali lagi, tulisan ini tanpa mengurangi respek dan apresiasi terhadap kerja keras tim penyelamat­an. Dengan peralatan yang terbatas, mereka tetap bekerja profesiona­l untuk melakukan evakuasi semaksimal­nya.

Pertanyaan lain yang muncul, bagaimana mungkin tembok beton yang baru berusia 34 hari itu bisa roboh? Apakah ada kesalahan konstruksi, penguranga­n standar spesifikas­i bangunan, atau sebab lain? Itu harus diungkap. Harus ada yang bertanggun­g jawab atas peristiwa tersebut.

Sehari sebelumnya, sebuh crane yang digunakan untuk sarana membangun rel kereta api doubletrac­k juga ambruk sehingga menewaskan empat pekerja. Mudah-mudahan peristiwa itu bukan disebabkan terburu-burunya kontraktor untuk memenuhi deadline dari pemerintah. (*)

 ?? ILUSTRASI DAVID/JAWA POS ??
ILUSTRASI DAVID/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia