Konflik Merenggut Masa Kecil
Nyawa Puluhan Anak Melayang di Awal Tahun
NEW YORK – Keceriaan dan nyawa anak-anak di wilayah konflik terenggut dengan paksa. Meski pergantian tahun masih berjalan sebulan lebih, puluhan nyawa sudah melayang.
Berdasar data Unicef, sepanjang Januari ada 83 anak-anak yang terbunuh di Iraq, Libya, Palestina, Syria, dan Yaman. Sebagian besar tewas karena bom bunuh diri dan serangan lainnya. Sisanya mati kedinginan maupun membeku saat berusaha melarikan diri.
”Anak-anak terus-menerus dibunuh dan terluka setiap harinya. Ini tidak bisa diterima,” ujar Direktur Unicef untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara Geert Cappelaere. Dia menyebut Januari sebagai bulan yang diliputi kegelapan karena banyaknya anak-anak yang tewas.
Al Jazeera menulis bahwa dari 83 nyawa itu, sebanyak 59 di antaranya adalah anakanak Syria yang tewas di tanah kelahirannya. Perang yang berlangsung hampir delapan tahun di negara tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda bakal berhenti. Sangat mungkin korban jiwa di Syria terus berjatuhan, terlebih saat ini Rusia meningkatkan serangan di kantong-kantong pemberontak dan Turki ikut menyerang pasukan Kurdi.
Penduduk Syria yang melarikan diri dari konflik dengan harapan bisa menghindari perang juga bernasib tragis. Beberapa waktu lalu, 16 pengungsi Syria mati membeku saat mengungsi ke Lebanon. Empat di antaranya adalah anak-anak.
Perang di Syria yang berlangsung sejak Maret 2011 itu telah merenggut 400 ribu nyawa dan membuat 22 juta penduduk kehilangan tempat tinggal.
Situasi yang tak kalah mengenaskan terjadi di Yaman. Cappelaere mengungkapkan, laporan adanya penduduk yang mati di negara tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari bagi para relawan. Bulan lalu di antara para korban tewas, 16 orang adalah anak-anak.
Di Benghazi, Libya, anak-anak asyik bermain tanpa mengetahui di dekat mereka ada bom yang gagal meledak. Nahas, bom itu justru menjalankan fungsinya kala anak-anak yang tidak berdosa tersebut berada dekatnya. Tiga di antaranya akhirnya harus kehilangan nyawa. Tiga lainnya tewas akibat bom bunuh diri. Di Palestina dan Iraq masing-masing ada satu anak yang menjadi korban tewas.
Jumlah korban yang dirilis oleh Unicef itu bisa saja jauh lebih besar di lapangan. Di zona konflik, data yang diterima kerap kali simpang siur. Terutama di Yaman yang jurnalis asing kerap dilarang masuk.
Cappelaere menegaskan bahwa kematian anak-anak di negara konflik itu merepresentasikan pelanggaran hukum internasional. Padahal, seruan agar anak-anak dilindungi selama perang sudah tercantum di Konvensi Jenewa yang disepakati oleh seluruh anggota PBB yang berjumlah 193 negara.