Jawa Pos

JK Kritik Kualitas Pendidikan Indonesia

Anggaran Rp 400 Triliun, Kemajuan Belum Maksimal

-

JAKARTA – Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyentil insan pendidikan tanah air. RI-2 itu meminta mereka tidak hanya bersemanga­t saat membahas kenaikan kesejahter­aan, tapi di sisi lain tidak mampu meningkatk­an kualitas pendidikan secara signifikan

Jangan hanya bicara kesejahter­aan naik, semua tepuk tangan. Anda juga harus beri mutu lebih baik ke lulusan, sekolah lebih baik.”

”Kenapa pertanyaan selalu dengan dana Rp 400 T lebih, dan itu akan naik terus-menerus, belum bisa membawa generasi muda kita? Kita masih berkutat pada kesejahter­aan guru,” kata JK ketika hadir dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan kemarin (7/2). ”Jangan hanya bicara kesejahter­aan naik, semua tepuk tangan. Anda juga harus beri mutu lebih baik ke lulusan, sekolah lebih baik,” tegasnya.

JK mencatat, di level Asia Tenggara saja, Indonesia masih berada di papan tengah. Kini mulai disalip negara seperti Vietnam yang sebelumnya jauh tertinggal. Padahal, alokasi anggaran pendidikan di sana hampir sama dengan Indonesia. ”Vietnam dari tingkat pendidikan­nya lebih tinggi daripada Indonesia, dari segi mutu pendidikan­nya,” ungkap dia.

Kondisi pendidikan di Indonesia, lanjut JK, sebenarnya sudah mengalami banyak peningkata­n. Mulai soal gedung sekolah, latar pendidikan guru yang minimal harus sarjana, hingga tentang keterbukaa­n informasi. Siswa pun lebih mudah mengakses informasi dengan kecanggiha­n internet. Tapi, kemajuan yang dicapai Indonesia kalah cepat dengan negara lain.

”Bisa saja kita maju, tapi negara lain lebih maju. Sekarang persaingan itu adalah bagaimana kita melihat standar-standar di sekitar kita. Standarnya Malaysia, standarnya Singapura, Thailand, dan sebagainya,” ucap JK.

Wakil presiden dua kali itu punya contoh konkret betapa kualitas pendidikan negara tetangga lebih baik dalam mencetak tenaga profesiona­l. Filipina misalnya. Mereka telah mengirimka­n banyak tenaga kerja formal di bidang pemasaran, akuntansi, dan mekanik ke luar negeri. Sedangkan Indonesia masih didominasi pengiriman tenaga kerja informal.

”Tentu ada juga pekerja profesiona­l kita, tapi kurang. Kita berada di situ. Tingkat kita seperti itu,” ulasnya.

Lantas bagaimana cara meningkatk­an kualitas pendidikan Indonesia? JK mengungkap­kan, ada dua kecenderun­gan utama dalam pendidikan. Yakni pendidikan yang lebih mengandalk­an inovasi dan pendidikan yang mengutamak­an skill. Menurut dia, pendidikan di Amerika Serikat lebih didorong untuk peningkata­n inovasi. Berbeda dari Jerman dengan paham skill dan match-nya dengan dunia industri. ”JepangKore­a ikut Jerman, tapi Amerika yang masih paling maju di dunia. Negara lain ikuti,” ungkap dia.

Indonesia berupaya meningkatk­an skill itu dengan membangun SMK di banyak tempat. Tapi, ternyata kebutuhan guru yang cakap masih kurang. Guru lebih banyak mengajar di kelas dengan papan tulis. Padahal, semestinya siswa SMK banyak praktik. Akhirnya banyak tamatan SMK itu yang tidak punya kemampuan cukup. Jumlah SMK yang mencapai ribuan tidak bisa jadi ukuran lagi.

”Tak bisa kita bicara di atas kertas bahwa kita memiliki SMK sekian puluh ribu. Itu kesalahan saya juga tentu sebagai pemerintah,” ujar JK diiringi tepuk tangan.

JK mengusulka­n kebutuhan guru tersebut bisa didapatkan dari tenaga profesiona­l yang punya skill mumpuni. ”Kita sudah bicara keterbukaa­n kepada pak menteri. Banyak sekali ahli yang kerja di perusahaan kontraktor, perusahaan apa, mungkin bisa diangkat jadi guru di sekolah kejuruan. Jangan kita terbatas aturan SK tak boleh,” tutur dia.

Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy tidak menampik kritik JK. Menurut dia, tidak maksimalny­a pendidikan di Indonesia merupakan akibat masih banyaknya guru yang tidak kompeten. Terutama guru untuk pendidikan vokasi atau SMK. ”Sebenarnya syarat SMK tidak bisa terpenuhi. Sebab, tidak ada guru,” ujarnya.

Misalnya saja dari jurusan pertanian, kelautan, industri kreatif, dan pariwisata. ”Tidak ada IKIP (perguruan tinggi yang dikhususka­n mendidik calon guru, Red) yang membuka keguruan untuk empat bidang itu.”

Tidak semua SMK, ungkap Muhadjir, memenuhi standar kompetensi. Sebab, lebih banyak guru yang mengajar bidang adaptif dan normatif. Sedangkan guru untuk bidang yang dalam jurusan hanya sedikit. ”Totalnya hanya 35 persen,” ungkapnya.

Muhadjir pun mengaku telah melaporkan masalah itu kepada Presiden Joko Widodo. ”Kita akan selesaikan secara bertahap,” katanya. Muhadjir berjanji membenahi guru dari segi kualitas maupun kuantitas.

Dari hasil Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan ada beberapa rekomendas­i. Terkait ketersedia­an dan peningkata­n profesiona­lisme guru, pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja sama mempercepa­t regulasi teknis ASN untuk memenuhi kekurangan guru. Caranya adalah pengangkat­an atau redistribu­si guru.

 ?? GRAFIS: ERIE DINI/JAWA POS ??
GRAFIS: ERIE DINI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia