Memacu Pertumbuhan
Tak biasanya Presiden Joko Widodo (Jokowi) masuk ke ruang kerja Wapres Jusuf Kalla (JK) Selasa lalu (6/2). Pasangan yang terpilih pada 2014 itu biasanya membicarakan masalah negara di kompleks istana kepresidenan. Ternyata, masalah yang dibicarakan sambil makan siang itu cukup serius. Yaitu bagaimana meningkatkan investasi dan ekspor yang masih kalah jika dibandingkan dengan negara tetangga.
Ya, kunci pertumbuhan ekonomi memang ada di dua hal itu. Investasi dan ekspor. Terutama ketika konsumsi domestik sedang lesu darah. Badan Pusat Statistik (BPS) awal pekan ini melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi 2017 hanya 5,07 persen. Angka itu jauh di bawah target yang dipatok 5,2 persen. Hanya tumbuh 5,07 persen tak cukup bagi Indonesia yang punya lebih dari 260 juta penduduk dan jumlah angkatan kerja yang bertambah 2 juta orang tiap tahun. Tumbuh 5,07 persen diperkirakan hanya menyerap 1 juta tenaga kerja baru. Artinya, ada 200.000 lapangan kerja baru tiap tumbuh 1 persen.
Ketika Indonesia tumbuh stagnan, negaranegara tetangga justru mencatat kinerja luar biasa. Sebut saja Malaysia dan Filipina yang tumbuh sekitar 6 persen, bahkan Vietnam yang melompat 7,5 persen. Kok bisa? Ternyata, negara-negara tersebut mengandalkan industri manufaktur sebagai basis ekonomi. Industri manufaktur sangat potensial menciptakan lapangan kerja baru yang artinya akan lebih banyak penyerapan tenaga kerja.
Dengan penyerapan tenaga kerja yang besar, banyak orang akan memiliki penghasilan yang cukup. Pada akhirnya bisa mendongkrak konsumsi rumah tangga. Seperti kita tahu, konsumsi rumah tangga adalah penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Industri manufaktur yang dikembangkan juga harus berorientasi ekspor.
Dengan begitu, ketika harga komoditas yang selama ini menjadi andalan ekspor melemah, Indonesia tetap bisa menggenjot ekspor dari produk manufaktur. Ekspor bisa menjadi komponen pelengkap pertumbuhan ekonomi bersama dengan konsumsi rumah tangga dan investasi.
Dari sisi investasi, pencapaian tahun lalu juga belum optimal. Di sana sini masih terjadi birokratisasi dalam mengurus perizinan. Investasi langsung dari mancanegara juga belum memberikan kontribusi signifikan pada angka pertumbuhan. Hanya investasi portofolio via pasar modal yang menunjukkan tren menanjak.
Nah, di sini dibutuhkan terobosan agar Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara tetangga.
Sebab, terkadang aturan di Indonesia sudah dianggap lebih mudah. Tapi, ternyata aturan di negara tetangga jauh lebih mudah lagi. Dengan kerja keras dan sinergi semua pihak, target pertumbuhan yang dipatok 5,4 persen tahun ini optimistis bakal terealisasi. (*)