Jawa Pos

Aduk-Aduk Bahan, lalu Dicarikan Nada yang Pas

-

Ketekunan membaca dan luasnya materi bacaan sang penulis membuat lagu-lagu Nasida Ria bisa akurat menggambar­kan masa depan. Dalam album terbaru yang sebagian sempat diperdenga­rkan ke Jawa Pos, ciri khas grup legendaris itu masih terjaga.

USIANYA sudah sepuh, 70-an tahun. Tapi, kepekaan telinga KH Buchori Masruri terhadap nada masih sangat terjaga

”Masuknya kurang pas, tolong diganti,” kata komposer utama Nasida Ria tersebut begitu Choliq Zain memperdeng­arkan lagu yang bercerita tentang dunia yang kian transparan.

Sebelumnya, dalam perjalanan menuju rumah Buchori di kawasan Sambiroto, Semarang, Jawa Tengah, Choliq sudah memperdeng­arkan lagu itu kepada Jawa Pos. Lagu yang judulnya masih dirahasiak­an itu bakal masuk album ke-35 grup kasidah legendaris Indonesia itu yang dirilis tahun ini.

Choliq adalah pemegang kendali manajemen grup yang telah berusia lebih dari empat dekade tersebut. Hari itu, Selasa pekan lalu (31/1), masih ada beberapa calon pengisi album baru Nasida Ria lain yang juga diperdenga­rkannya kepada Jawa Pos

yang semobil dengannya.

Lagu-lagu baru itu kembali memperliha­tkan ciri khas Nasida Ria selama ini. Lirik sarat nasihat, tapi dengan tetap terkait isu-isu terkini. Nuansa nada yang tentu saja tetap Islami. Dan, petikan mandolin serta gesekan biola yang terdengar sangat Arabik.

Salah satu lagu, misalnya, berkisah tentang dunia komunikasi era digital yang seakan tanpa batas dan sekat. Kebaikan dan keburukan tampak kentara. Tidak ada lagi rahasia, semua telanjang di hadapan teknologi informasi.

Di luar tembang mereka yang memuat pesan keagamaan, tak sedikit yang menyebut lirik-lirik Nasida Ria yang bercerita tentang masa depan bak ditulis oleh ahli nujum. Sebab, selalu tepat ”meramal” apa yang akan terjadi. Sehingga membuatnya selalu relevan sepanjang masa.

Perdamaian adalah salah satu contoh. Puluhan tahun setelah dirilis, siapa yang bisa membantah relevansin­ya dengan kondisi dunia zaman now? Bahwa begitu banyak orang yang mengklaim sebagai pencinta perdamaian. Tapi, toh perang terus saja terjadi di berbagai penjuru bumi.

Contoh lainnya Bom Nuklir, lagu yang masuk album ke-14 grup yang didirikan Malik Zain itu. Akan musnah kehidupan di bumi//Bila bom nuklir di ledakan//Akan musnah kehidupan di bumi.

Bukankah sampai kini ancaman perang nuklir itu yang masih terus ditakutkan warga bumi? Lihat, misalnya, kehebohan yang timbul akibat uji rudal Korea Utara.

Rien Jamain, salah satu personel Nasida Ria generasi pertama yang masih aktif sampai kini, merasakan betul keakuratan lagulagu karya Buchori dan Zain. Rien mengenang, ketika Zain meninggal karena kecelakaan mobil dalam perjalanan mengantar Nasida Ria tampil di Lamongan pada 1992, itu hanya berselang beberapa tahun setelah dia menciptaka­n lagu Tabrak Lari.

Lagu itu pun jadi seperti isyarat kepergian sang guru. ”Rahasia Allah, siapa yang tahu,” gumamnya dengan mata berkaca-kaca.

Buchori dan almarhum Malik Zain memang berada di balik ketepatan Nasida Ria dalam menggambar­kan masa depan. Kolaborasi keduanya memainkan peran penting dalam keberhasil­an Nasida Ria bertahan lebih dari empat dekade.

Wawasan Buchori yang jembar berasal dari ketekunann­ya membaca. Materi bacaannya juga luas. Tidak hanya kitab-kitab, tapi juga majalah-majalah sains. Di koran-koran, Buchori tidak pernah melewatkan berita internasio­nal. Isu-isu kontempore­r tersebut lantas disandingk­an dengan perspektif Alquran dan hadis.

Mekatronik­a, majalah karya anak-anak ITB (Institut Teknologi Bandung), adalah salah satu bacaan kesukaanny­a. Buchori punya berseri-seri majalah itu. ”Terbit, saya langsung beli. Terbit lagi beli lagi,” katanya.

Bom Nuklir bisa jadi terinspira­si majalah tersebut. Lagu itu tidak berdasar Hiroshima dan Nagasaki, tapi pada perlombaan senjata nuklir antara blok Timur dan Barat dalam perspektif Perang Dingin.

Lagu terfavorit Buchori adalah Tahun 2000. Dia menulis lagu itu sekitar 1982. Saat itu dia sudah melahap berbagai kajian ilmuwan di berbagai belahan dunia akan periode pergeseran zaman besarbesar­an pada era milenium ketiga.

”Itu sudah lama ditulis, tapi orang-orang

ndak mau baca,” ujarnya.

Sehingga ketika lagu itu tercipta, kata Buchori, orang-orang pada ”ngelamun”. Sekian tahun berselang, ketika milenium baru akhirnya tiba, keakuratan­nya terbukti.

Dalam lagu itu, Buchori menulis manusia yang hidup berkalang mesin. Makan minum dilayani mesin, sampai tidur pun berkawan mesin. Realitas itu terbukti berpuluh-puluh tahun kemudian saat orang-orang tidur bersama dengan smartphone miliknya.

Dalam Tahun 2000 juga ditulis pekerjaan manusia yang semakin banyak digantikan mesin. Juga sawah dan ladang yang berganti menjadi permukiman serta gedunggedu­ng bertingkat.

Dalam menulis lirik dan lagu, Buchori menyebutny­a seperti ”mengaduk-ngaduk” berbagai bahan untuk kemudian dicarikan nada musik yang pas. Kadang prosesnya cepat, kadang butuh waktu.

Perdamaian, misalnya, ditulis dalam waktu seminggu. Sedangkan Bom Nuklir diselesaik­an kurang dari sebulan. ”Ada lagu Jangan Main Cerai, itu sampai setahun, nggak cocok diubah lagi, nggak cocok lagi,” ungkapnya.

Proses itulah yang turut mengantark­an lagu-lagu Nasida Ria hingga mampu menembus zaman. Dan, akhirnya mengundang ketertarik­an penyanyi dan musisi lain untuk merilis ulang.

Perdamaian, sebagaiman­a diketahui, dicover Gigi dalam album Raihlah Kemenangan

(2004). Band yang sama juga merekam ulang Kota Santri di album Pintu Sorga (2006). Sebelumnya, Kota Santri lebih dulu di-cover duet Krisdayant­i-Anang Hermansyah.

Belakangan, beberapa lagu Nasida Ria juga sempat populer di media sosial. Misalnya, Wajah Ayu Untuk Siapa yang mengibarat­kan kehormatan perempuan sebagai ”mangga ranum” dan kebejatan laki-laki seperti kampret (kelelawar).

Warganet dihebohkan oleh kata-kata kampret tersebut. Penggalan-penggalan klip video lagu tersebut pun dijadikan meme khas anak-anak zaman now.

Fenomena kekinian itu memperliha­tkan luasnya daya jangkau Nasida Ria. Dari generasi ke generasi. Tak hanya Indonesia, tapi juga luar negeri.

Malaysia dan Jerman termasuk negeri yang pernah disinggahi grup dari Kampung Kauman, Semarang, itu. Di tanah air, fan base mereka tersebar di berbagai kota.

Legasi itulah yang kini terus berusaha di-uri-uri Choliq sebagai komandan. Dengan menyiapkan regenerasi personel. Dengan menjaga ciri khas Nasida Ria lewat album baru yang akan dirilis tahun ini.

Dunia transparan, tembus pandang. Semua terbuka, tiada rahasia Baik buruk kelihatan, jauh dekat kelihatan

Sekian tahun dari sekarang, tinggal ditunggu seberapa transparan dunia yang ditempati warga bumi ini...

 ?? TAUFIQURRA­HMAN/JAWA POS ?? MELINTAS ZAMAN: Rien Jamain memegang foto grup Nasida Ria angkatan pertama. Foto atas, Choliq Zain (kiri) dan KH Buchori Masruri.
TAUFIQURRA­HMAN/JAWA POS MELINTAS ZAMAN: Rien Jamain memegang foto grup Nasida Ria angkatan pertama. Foto atas, Choliq Zain (kiri) dan KH Buchori Masruri.
 ?? NASIDA RIA FOR JAWA POS ??
NASIDA RIA FOR JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia