Jawa Pos

Kartu Kuning Jokowi

- ADI MUNAZIR*

INSIDEN kartu kuning pada Dies Natalis Universita­s Indonesia (2/2) terhadap Presiden Jokowi ramai diperbinca­ngkan publik. Nama Zaadit Taqwa yang tidak lain ketua BEM-UI menampar kebijakan presiden dengan tiupan peluit dan acungan buku paduan suara berwarna kuning.

Ada tiga tuntutan yang dijadikan isu sentral dalam insiden tersebut, yaitu permasalah­an gizi buruk yang terjadi di Papua, persoalan dwifungsi Polri, serta aturan baru terhadap organisasi mahasiswa yang dianggap mematikan nalar kritis mahasiswa.

Insiden tersebut merupakan langkah tepat di waktu yang tepat dalam melempar kritik yang efektif terhadap penguasa. Keterbukaa­n menyampaik­an pendapat di muka umum memang sah-sah saja serta dijamin oleh konstitusi.

Di banyak rezim, kritik terbuka mahasiswa, masyarakat, maupun aktivis terhadap pemerintah lumrah terjadi. Presiden George Bush pernah dilempar sepatu oleh wartawan (2008), Presiden SBY pernah didemo mahasiswa dengan arakan kerbau (2010), pengundura­n diri Paus Benediktus XVI dirayakan dengan aksi bugil oleh aktivis Femen (2013). Instrumen unjuk rasa pun bermacam-macam. Misalnya, keranda mayat, patungpatu­ng, dan hewan (kerbau).

Dalam konteks pemberian kartu kuning yang dilakukan Zaadit, itu merupakan simbol peringatan keras atas beberapa masalah mendasar yang dihadapi penguasa.

Retorika Presiden Penggalan puisi Takut 66, Takut 98 karya Taufiq Ismail ’’Mahasiswa takut pada dosen, dosen takut pada dekan, …. , presiden takut pada mahasiswa” setidaknya menjelaska­n bahwa ada siklus berkelanju­tan antara mahasiswa sampai presiden di mana ketakutan itu dapat dihentikan, bahkan dipotong, dengan teknik retorika.

Kemampuan retorika merupakan hal mutlak sebagai modal pendekatan sosiologis bagi seorang presiden. Bahasa menjadi komunikasi utama dalam menyelaras­kan perintah, mengikat persatuan, serta berdiploma­si dalam melerai dan menuntaska­n perbedaan yang dihadapi sebuah negara.

Keterhubun­gan kata yang baik dengan intonasi tegas merupakan modal retorika yang baik. Sudah menjadi keharusan bahwa seorang presiden sering muncul di tengahteng­ah publik sehingga harus mampu menguasai retorika yang baik agar dapat memberikan rangsangan semangat kepada masyarakat yang mendengark­an. Retorika yang baik akan memberikan dampak efektif dalam mengumpulk­an legitimasi serta pengaruh sosial untuk menjalanka­n roda-roda pemerintah­an.

Suka atau tidak suka kemampuan retorika Jokowi dalam kapasitasn­ya sebagai presiden memang lambat, basa-basi, tidak tegas, dan lamban mengarah pada konteks pembicaraa­n. Pidato-pidato kepresiden­an yang sering berdasar pada teks, kefasihan berbahasa asing, serta selera humor yang rendah merupakan kendala retorika dari sang presiden yang harus dijadikan catatan dalam kartu kuning kepemimpin­an Jokowi.

Insting Politik Presiden Pemerintah­an demokratis tentu memiliki oposisi yang mengawasi dan mengkritis­i kebijakan-kebijakan yang dijalankan secara politis. Dalam posisi tersebut, sangatlah diperlukan insting politik presiden untuk menakar dan menimang sekaligus menerawang kemungkina­n terburuk yang akan terjadi. Hal tersebut menjadi catatan dalam kartu kuning kedua yang harus diperhatik­an sang presiden di tengah-tengah keberagama­n yang ada.

Dalam tubuh bangsa Indonesia, kebinekaan menjadi penopang kekuatan negara. Salah satu kekuatan itu adalah posisi masyarakat Islam yang mendominas­i lini kehidupan kebangsaan. Dalam perkembang­annya, presiden seakan-akan menjaga jarak dari posisi mayoritas sehingga terkesan berdiri membela minoritas ketika polemik terjadi. Seharusnya insting politik presiden mengarahka­n pada posisi netral dalam rangka menjaga stabilitas berjalanny­a sebuah kekuasaan.

Insting politik presiden selanjutny­a yang menabrak aturan adalah persoalan pengangkat­an pejabat dari unsur Polri aktif sebagai pelaksana tugas (Plt) gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Permasalah­an tersebut akan menyebabka­n aktifnya dwifungsi Polri yang seharusnya netral dalam permasalah­an politik sebagaiman­a tertuang dalam pasal 28 ayat (2) UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Manajerial Pemerintah­an Yang menarik dari kabinet Jokowi adalah banyaknya unsur purnawiraw­an yang mengisi posisi-posisi strategis pemerintah­an. Fenomena tersebut secara tidak langsung memberi kesan bahwa Jokowi memainkan posisi defensif dalam mengamanka­n pagar pertahanan politiknya. Ditambah lagi, pemilihan presiden semakin dekat sehingga langkahlan­gkah Jokowi tidak terlepas dari stigma konsolidas­i dalam mengamanka­n panggung Pilpres 2019.

Kartu kuning adalah simbol peringatan dalam mengawal kebijakan. Jadi, tidak perlu mendramati­sasi, merisaukan, apalagi membabi buta menutup-nutupi kelemahan, kekeliruan, kesalahan rezim yang memimpin saat ini. Bukankah tujuan peringatan itu adalah kemuliaan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tetap menjalanka­n persatuan yang berketuhan­an. * Ketum PC Ikatan Mahasiswa Muhammadiy­ah (IMM) Malang Raya, Twinning Program FAI-FH UMM

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia