Pers Melawan Media Asosial
Agak menggelikan ketika sesuatu yang palsu mulai lebih dipercaya daripada yang asli, fitnah lebih laku daripada fakta, dan kejujuran kalah oleh rekayasa. Tapi, kecenderungan seperti itu sudah sangat tampak seiring makin menggiurkannya penghasilan yang bisa dikeruk dari media sosial. Berpura-pura menjadi situs berita, berburu klik dengan menyebar beritaberita palsu yang menghebohkan, kemudian mengais keuntungan dari iklan online.
Kasus penggunaan nama Humas Polres Surakarta sebagai fan page penyebar berita oleh orang tak dikenal bisa menjadi contoh nyata. Bayangkan, menggunakan label polisi, fan page itu menyisipkan berita-berita palsu yang berpotensi memicu konflik SARA. Polres Surakarta sudah berusaha keras menjelaskan bahwa akun Humas Polres Surakarta bukan milik mereka. Namun, sepertinya, penjelasan itu sia-sia.
Celakanya, fan page palsu Humas Polres Surakarta memiliki pengikut yang banyak. Per 7 Februari 2018, mereka telah diikuti 4.624
follower. Bandingkan dengan fan page asli milik Polres Surakarta yang hanya punya 228 pengikut. Sudah bisa dipastikan, informasi dari sumber palsu lebih banyak dan cepat menyebar daripada sumber asli.
Perilaku yang lebih kurang ajar dari penjahatpenjahat informasi di media sosial masih teramat banyak. Tak sedikit blog yang pura-pura menjadi situs berita. Mereka mencuri artikel dari media
mainstream, kemudian mengubah judulnya agar lebih bombastis, provokatif, bahkan berbau fitnah. Cara itu sangat manjur untuk mengundang klik dan mendatangkan iklan online.
Ada juga yang menggunakan nama sangat mirip dengan situs berita resmi. Bahkan nekat mencuri logo kantor berita populer, tapi berita yang disajikan bohong semua. Merekayasa
screenshot tampilan situs berita resmi, kemudian menyebarkannya lewat aplikasi percapakan dan layanan jejaring sosial lainnya. Tanpa sadar, masyarakat terpapar berita palsu setiap hari. Celakanya, berita palsu itu dipercaya.
Peran media sosial yang awalnya menjadi wadah bersosialisasi dan berbagi telah mengalami banyak penyimpangan. Tumbuh sebagai penyebar informasi sepihak tanpa klarifikasi. Menyeret penggunanya untuk berlama-lama di dunia maya, menjadi asosial, dan mengikis budaya tabayun. Yang seperti itu tentu lebih cocok disebut media asosial.
Di sinilah peran lembaga pers dengan segala kepatuhannya terhadap prinsip-prinsip jurnalistik yang menjunjung tinggi kebenaran kembali dibutuhkan. Supaya ke depan masyarakat tidak mudah termakan bisnis informasi palsu yang menyebar lewat media asosial.