Kesejahteraan Kunci Profesionalisme Jurnalis
ABDUL MANAN
Hari ini (9/2), Indonesia kembali memperingati Hari Pers Nasional (HPN). Di balik semarak perayaan, masih ada sederet persoalan yang harus dibenahi. Berikut obrolan wartawan Jawa Pos Folly Akbar dengan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pusat yang juga redaktur Tempo. Dari tiga hal ini; profesionalisme, kebebasan, dan kesejahteraan, mana yang menurut Anda paling tertinggal dalam dunia pers kita?
Kondisinya (rata-rata) belum bisa dikatakan bagus. Misalnya, kebebasan. Kalau ada yang bilang kita bebas, tidak sepenuhnya benar. Undang-Undang masih menyediakan (sanksi) pemenjaraan bagi wartawan di KUHP dan UU ITE.
Soal profesionalisme, masih ada tantangan independensi media. Kepemilikan yang terpusat pada beberapa korporasi (membuat) konten jadi beragam. Tapi, afiliasi pemilik media dengan partai politik membuat independensi media dipertanyakan, meski tidak semua media. Pengaduan terhadap wartawan juga masih tinggi. Sementara itu, kesejahteraan (sebagian besar) tak bisa dikatakan baik.
Dibandingkan negara lain?
Soal kebebasan, kita terhitung masih lebih baik ketimbang Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura. Kita bersaing dengan Timor Leste dan Filipina. Kalau kesejahteraan jurnalis, masih kalah sama Singapura atau Malaysia.
Seberapa jauh pengaruh kesejahteraan terhadap profesionalisme?
Upah yang layak sangat penting karena berkaitan dengan profesionalisme. AJI punya keyakinan, wartawan dengan kesejahteraan yang lebih baik akan menghasilkan karya yang baik dan bermutu.
Bergabung dan aktif di organisasi profesi memang penting. Namun, jurnalis juga memiliki beban kerja yang sangat tinggi. Sulit mencari waktu luang. Bagaimana solusinya?
Pengalaman saya lebih ke belajar mengelola waktu dengan baik. Memilih melakukan pekerjaan jurnalistik, namun masih ada waktu untuk berorganisasi. Itu saya akui tidak mudah, tapi layak dicoba untuk mengetahui tantangannya.