Relaksasi DNI Belum Efektif
Antarinstansi Tidak Kompak
JAKARTA – Salah satu upaya untuk meningkatkan porsi investasi asing dan swasta di Indonesia adalah merevisi daftar negatif investasi (DNI). Pada kuartal pertama 2016, pemerintah telah mengubah DNI untuk tahap pertama. Rencananya, pelonggaran tahap kedua diumumkan tahun lalu. Namun, hingga kini belum ada kejelasan kapan perubahan DNI terbaru itu dirilis.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengindikasikan bahwa revisi kedua DNI tersebut membutuhkan pembahasan lebih lama. Alasannya, revisi DNI yang ada saat ini tidak mampu mendongkrak investasi sesuai dengan yang diharapkan. Tom –sapaannya– menuturkan, salah satu hambatan dari implementasi revisi DNI itu adalah ketidakkompakan kementerian dan lembaga dengan sektor terkait. ”Revisi DNI itu hanya langkah nol, bukan nomor satu. Karena itu sekadar larangan dan belum membuka pintu. Jadi, kita cabut larangannya, baru yang kedua buka pintu,” paparnya saat ditemui di kantornya kemarin (8/2).
Menurut mantan Mendag itu, yang menjadi persoalan, setelah larangan dicabut, ternyata pintu tidak dibuka oleh kementerian dan lembaga terkait. Dia mengungkapkan, banyak sektor usaha yang larangannya sudah dicabut, tapi pintunya justru ditutup lem- baga pemerintah sendiri dalam implementasi di lapangan. Dengan kata lain, aturan antara BKPM dan kementerian teknis tidak sinkron.
Karena itu, Tom menekankan, membuka larangan investasi atau merelaksasi DNI tidak lantas mampu menaikkan investasi. Hal tersebut juga bergantung implementasi di lapangan. Dia mengakui, realisasi implementasi revisi DNI selama ini memang sangat minim. Namun, ada beberapa sektor yang terbukti berhasil menaikkan investasi berkat revisi DNI. Salah satunya sektor industri perfilman.
Ekonom Indef Eko Listianto menuturkan, BKPM sebaiknya tidak lantas menyalahkan kementerian atau lembaga teknis. Dia mengatakan, BKPM harus mampu mengoordinasikan aturan teknis terkait sektor usaha yang larangannya dicabut dengan instansi terkait. ”Ya, memang kalau mau diputuskan akan mau dibuka sekian persen (revisi DNI, Red), itu seharusnya koordinasi,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.
Eko juga menekankan bahwa keputusan pemerintah untuk membuka maupun menutup DNI harus melalui uji publik. ”Jangan sampai karena DNI itu menjadi faktor penghambat investasi, jadi minta dibuka (untuk asing, Red),” katanya. Dia menambahkan, urgensi untuk membuka harus benar-benar mempertimbangkan banyak aspek. ”Seperti kesehatan dan pendidikan. Contohnya pembukaan universitas asing yang kemarin ramai itu. Kadang kala DNI itu dibuka hanya untuk investment attractive,” ujarnya.
Eko juga mengatakan, pemerintah harus mampu melihat apakah memang revisi DNI dibutuhkan investor. Sebab, sepinya peminat sektor dalam revisi DNI mungkin terjadi karena investor lebih butuh perbaikan regulasi dan infrastruktur. ”Jangan-jangan pembukaan DNI terlalu cepat. Sehingga sudah dibuka, tapi tidak banyak yang masuk,” imbuhnya.