Dalam Semalam Bisa Naik 70 Taksi
Cerita Para Petugas Tera UPTD Metrologi Legal
Kesal tidak, kalau setelah diet, bobot 60 kg tetap tercatat 62 kg gara-gara timbangan tidak pas? Itu baru urusan berat badan. Masih banyak lagi jenis timbangan dan pengukur lain. Semua harus dijaga supaya selalu presisi. Di tangan para petugas tera inilah tugas itu dilakukan.
ALAT timbang punya batas kedaluwarsa. Secara rutin harus menjalani uji tera agar tetap menjadi alat ukur yang seimbang. Jika dianggap tidak pas, perlu dilakukan kalibrasi ulang. Para petugas tera dari Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Metrologi Legal punya kapasitas itu.
Unit teknis di bawah Dinas Perdagangan (Disdag) Surabaya tersebut memiliki tanggung jawab memastikan setiap alat timbang yang beredar di masyarakat layak digunakan. Secara terjadwal, saban tahun mereka mendatangi satu pasar ke pasar lain untuk tera ulang. Begitu juga fasilitas lain yang berurusan dengan alat ukur massa seperti SPBU, apotek, timbangan kendaraan, hingga keran meter PDAM. ”Paling banyak kasusnya di pasar, pada timbangan meja,” ujar salah seorang petugas Jaja Sujatma
Kesalahan timbangan biasanya terletak pada patuk burung yang tidak lagi sejajar. Kalau sudah begitu, konsumenlah yang rugi. Idealnya, toleransi bobot hanya 20 gram. Lebih dari itu masuk kategori tidak layak. Pilihannya dua. Timbangan disita atau kalibrasi ulang.
Namun, ada saja ulah pedagang untuk mengelak. ”Daripada sita timbangannya, mending bawa saya saja, Pak,” ujar Jaja menirukan seorang pedagang perempuan.
Tentu saja petugas tak mengambil opsi yang ditawarkan pedagang itu. Yang bisa dilakukan adalah sidang tera di tempat. Begitu ditemukan pelanggaran, saat itu juga petugas melakukan kalibrasi ulang.
Timbangan meja hanya satu di antara ratusan alat timbang yang jadi wewenang petugas tera. Beberapa lainnya memiliki risiko tinggi. Misalnya, tera ulang pada tangki ukur tetap silinder datar dan tegak.
Biasanya, petugas yang melakukan itu sudah punya jam terbang tinggi. Salah satunya Toung. Pria 56 tahun tersebut biasa menera ulang tangki ukur yang bisanya digunakan untuk menyimpan minyak atau bahan cair lain. Bentuknya silinder tinggi menjulang. ”Paling tinggi saya pernah mengukur 34 meter. Itu milik salah satu perusahaan mi instan,” ujar bapak dua anak tersebut.
Toung harus memanjat hingga puncak silinder. Sampai di puncak, dia turun ke dasar tabung. ”Kalau jatuh, ya tinggal tahlilan saja,” kelakarnya.
Dalam menjalankan tugas, mereka taat pada prosedur. Kalau tidak, nyawa bisa jadi taruhan. Misalnya, yang diceritakan petugas Rusjahman Arief Adiwidjaja. Satu ketika dia melihat empat petugas SPBU pingsan di tangki ukur tetap silinder datar. Tangki benam untuk bahan bakar minyak di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) itu tidak steril saat petugas masuk. ”Niatnya, mereka mau membersihkan, tapi prosedurnya salah. Untung saja, cuma pingsan,” katanya.
Sementara itu, untuk tera ulang kapal tanker, tantangannya ombak dan cuaca. Kalau ombak besar, sulit dilakukan pengukuran karena kapal terus bergoyang. Kalau salah waktu, udaranya juga terasa panas serasa di oven. ”Kalau di tanker, pagi ya pagi sekalian. Kalau sore, ya sore sekalian. Nggak nanggung siang hari,” ujar Jaja.
Di antara 17 petugas tera, 6 orang adalah perempuan. Salah satunya Suratin Widia Astuti yang bekerja sejak 2013. Memanjat tangki ukur tetap silinder tegak setinggi 30 meter sudah menjadi hal biasa baginya. Sementara itu, Ulvia Silvia dan Suro Dewati punya spesifikasi sendiri sebagai pekerja malam lantaran harus menera taksi. ”Kalau malam, taksi sudah ada di pol semua dan jalanan Surabaya lebih lengang,” ujar Ulvia.
Untuk tera taksi, ada standar jarak dan kecepatan yang ditetapkan. Jarak yang ditempuh 2 kilometer dengan kecepatan minimal 60 kilometer per jam. ”Jadi, kami nyobain satu-satu taksinya. Pernah sampai nyoba 70 taksi dalam semalam,” katanya. Berangkat tera mulai pukul 21.00 dan pulangnya tidak tentu. Terkadang subuh, bahkan sampai matahari bersinar terang. ”Kalau pulang sering dilihatin orang. Ini PNS apa jam segini baru pulang,” ujar Suro, lantas tertawa.
Lantaran harus sering turun ke lapangan, para petugas perempuan itu jadi jarang ber-make-up. Rasanya sia-sia pakai blush on atau eye shadow karena yang dihadapi tidak jauh dari debu dan panas. ”Kami sarankan kalau mau ambil foto, pagi saja. Kalau sore, sudah kumus-kumus,” kata Suro, lalu tertawa.