Sulitnya Menjadi Wartawan di Masa Revolusi
INDONESIA memperingati Hari Pers Nasional setiap 9 Februari untuk mengenang perjuangan para wartawan, terutama pada masa revolusi kemerdekaan. Pada 9 Februari 1946 dibentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk menghimpun para wartawan nasionalis agar berpartisipasi menyokong eksistensi Republik Indonesia (RI).
Para wartawan republikan (bentuk tidak baku: republiken) itu berjuang dengan tulisan untuk mengajak masyarakat Indonesia menghapus sisa-sisa kolonial Belanda sekaligus menumbuhkan rasa cinta tanah air. Sudah banyak narasi yang kita baca perihal kontribusi para wartawan di masa revolusi ini. Namun, ada satu hal yang tampaknya belum banyak diketahui orang. Yakni, pekerjaan mereka menerbitkan surat kabar kala itu adalah sesuatu yang amat sulit, bahkan berisiko.
Situasi zaman itu, terutama pada akhir 1945, memang jauh dari normal. Pemerintah RI baru berdiri; Jepang belum pulang; sekutu masih di Indonesia; Belanda sudah datang; kerusuhan terjadi di berbagai tempat. Konflik terjadi dalam berbagai level dan melibatkan hampir semua segmen masyarakat. Di tengah situasi menegangkan tersebut, apa saja kesulitan para jurnalis?
Pertama, penjarahan yang menyasar fasilitas pers. Di bulan-bulan pertama setelah proklamasi kemerdekaan, keamanan dan ketertiban belum sepenuhnya hadir. Penjarahan oleh massa yang tak dikenal masih sering terjadi. Mereka menyasar kantorkantor yang dianggap punya barang berharga. Kantor surat kabar tak luput dari aksi penjarahan.
Di Semarang, umpamanya, kantor surat kabar Warta Indonesia yang prorepublik menjadi sasaran amuk massa dan penjarahan. Efeknya buruk. Para jurnalis khawatir dengan keselamatan dirinya, sedangkan kantor tutup dan percetakan tidak jalan. Alhasil, itu mengakibatkan sebagian pengelola pers memutuskan berhenti terbit. Ada pula yang kukuh bertahan dengan membawa peralatan cetak persnya ke daerah pedalaman.
Kedua, problem teknis. Mencetak surat kabar pada masa perang tidaklah mudah. Mencari kertas sangat sukar karena selain stoknya terbatas, ada banyak pihak yang menginginkannya. Belum lagi susahnya mencari bahan bakar untuk menjalankan mesin cetak. Bukan hanya itu, mesin cetaknya sendiri kerap menjadi sasaran penjarahan dan perusakan karena dipandang tinggi nilainya (bagi penjarah) sekaligus berbahaya (bagi musuh). Maka, bisa terbit saja sudah patut disyukuri. Sirkulasi jelas sangat terbatas.
Ketiga, bahaya yang mengancam saat meliput dari medan perang. Ada sebagian jurnalis yang terjun langsung ke kancah kontak senjata antara pasukan republikan dan militer Belanda. Istilah masa kininya embedded journalist atau wartawan yang melekat pada unit militer. Wartawan republikan itu berada satu barisan dengan pasukan republik. Itu jelas berbahaya karena mereka minim proteksi.
Adakalanya pihak lawan berang kepada jurnalis yang melekat itu. Salah satu contohnya adalah saat pasukan TNI berupaya menumpas pemberontakan komunis di Madiun pada 1948. Seorang jurnalis perempuan Gadis Rasid ikut bersama rombongan pasukan TNI dalam opera- si pemberantasan itu. Di masa Jepang, Gadis adalah wartawan Sinar Baroe
(Semarang) dan sejak akhir 1948 bergabung dengan Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar (nama Gadis beken di kalangan sastrawan lantaran Chairil Anwar pernah menulis sajak untuknya,
Buat Gadis Rasid).
Gadis meminta kepada TNI agar dirinya ikut dalam operasi pemberantasan pemberontakan PKI. Dia akhirnya ikut, lalu menerbitkan reportasenya di koran. Bisa ditebak, laporannya cenderung mendukung TNI. Akibatnya, kaum komunis pun marah kepada Gadis.
Keempat, tekanan dari Belanda. Mulai penggeledahan kantor surat kabar, penangkapan jurnalis, hingga penghancuran properti. Tidak jarang Belanda memprotes, bahkan menyensor, berita yang muncul di pers republikan. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah berita yang dinilai merugikan oleh Belanda.
Koran Gelora Rakjat pada 18 April 1946 atau dua bulan setelah PWI terbentuk melaporkan intimidasi Polisi Militer Belanda terhadap jurnalis republikan. Dilaporkan, pada pertengahan April 1946 Polisi Militer Belanda mendatangi rumah seorang jurnalis majalah prorepublik The Voice of Free Indonesia (salah satu pengelola majalah itu adalah Ktut Tantri, seorang perempuan Amerika pro-RI).
Sang jurnalis disuruh datang ke kantor Polisi Militer Belanda. Alasannya, majalah tersebut telah menurunkan berita yang melemahkan moral Belanda. Polisi Militer Belanda menekankan bahwa berita semacam itu tak boleh lagi terbit. Puncaknya, dalam Agresi Militer I, Belanda tidak hanya menyerang pos-pos republik, tapi juga mengambil alih kantor koran prorepublik. Bahkan melarang surat kabar republikan terbit.
Secara keseluruhan, memang harus diakui, para wartawan republikan berperan krusial dalam masa-masa formatif Indonesia. Para wartawan turut menyebarluaskan kesadaran tentang lahirnya sebuah negarabangsa baru bernama Indonesia. Mereka melakukannya di tengah berbagai kendala, baik teknis maupun nonteknis. Sebagian bisa mengatasinya. Sebagian lainnya menjadi korban konflik. Yang jelas, tanpa para juru berita, baik wartawan maupun penyiar radio, eksistensi RI mungkin hanya akan terdengar sayup-sayup dan di lingkup terbatas.