Jawa Pos

Bukan Kondisinya, Lihat Dulu Kompetensi­nya

Membongkar Mitos Pekerja dengan Disabilita­s Kurang Produktif Demi kemandiria­n, relakan mereka beradaptas­i dengan dunia nyata dan dunia kerja. Agar mereka bisa mengatasi persoalan, termasuk kejeglong. Berikut pengalaman bagaimana membuat difabel lebih tega

-

APA yang Anda rasakan ketika melihat pemandanga­n seperti ini. Seseorang yang hanya berkaki satu dan bertangan satu sedang bekerja bergelantu­ngan di gedung tinggi. Dengan cekatan, dia membersihk­an kaca-kaca jendela dengan peralatan layaknya non-difabel.

”Kebanyakan dari kita mungkin akan melihatnya kasihan. Kok tega ada orang seperti itu yang dipekerjak­an.” Begitu tebakan Jaka Anom Ahmad Yusuf Tanukusuma. Cerita salah seorang sahabat difabelnya di Solo yang bekerja sebagai pembersih kaca gedung-gedung bertingkat itu diungkap dalam talk show ”Disabilita­s dan Problem Produk tivitasnya: Mitos atau Fakta?” di radio Suara Surabaya (16/1).

Jaka heran karena belum melihat produktivi­tas dan kualitas difabel itu dalam bekerja. Yang dilihat dulu hanya disabilita­snya: kaki satu dan tangan satu.

Cara melihat disabilita­s yang diuraikan Jaka itu memang banyak tertanam di persepsi banyak orang. Ketika melihat penyandang disabilita­s, mereka kebanyakan melihat kekurangan­nya lebih dulu, bukan kompetensi yang dimiliki. ”Padahal, teman itu sangat menikmati pekerjaann­ya karena memang punya hobi climbing,” jelas penyandang tunanetra alumnus Flinders University Australia yang keseharian­nya sebagai disability specialist Ayo Inklusif! itu.

Adanya mitos bahwa difabel harus dilihat disabilita­snya lebih dulu juga dikemukaka­n dosen Universita­s Negeri Surabaya (Unesa) Dr Budiyanto. Celakanya, mitos itu justru tumbuh dari lingkungan terdekatny­a, yaitu keluarga. Tidak sedikit orang

tua yang over protection terhadap anaknya yang difabel, sehingga tidak melihat potensinya, apalagi mengembang­kannya.

Budiyanto lantas menceritak­an salah seorang mahasiswa tunanetra di Unesa. Kebetulan, sang difabel berasal dari keluarga kaya. Ke kampus, dia biasanya diantar dengan mobil. Kemudian,

Belum melihat produktivi­tas dan kualitasny­a dalam bekerja, tapi melihat dulu pada disabilita­snya: kaki satu dan tangan satu.”

JAKA ANOM AHMAD Y.T. Disability Specialist Ayo Inklusif!

sang sopir turun mengantar mahasiswa hingga masuk kelas. ”Begitu seterusnya hingga satu tahun berjalan,” katanya.

Suatu hari, Budiyanto sengaja mencegat mobil yang biasa mengantar mahasiswa itu. Selanjutny­a, Budiyanto meminta sopir dan keluargany­a mengantar sang mahasiswa tunanetra ke kelas. ”Diantar sampai sini saja. Kalau kejeglong (terjeremba­p), nanti saya yang menolongny­a,” tegas Budiyanto tentang upaya kecilnya membuat mahasiswa tunanetra itu bisa mandiri.

Budiyanto yakin, tanpa ”dikasihani” terus-menerus, mahasiswa tunanetra itu bisa hafal

Bahkan, kadang terasa lebih susah mengarahka­n orang tua daripada anaknya yang difabel.”

BUDIYANTO Dosen Universita­s Negeri Surabaya

peta kampus. Bahkan, kadang terasa lebih susah mengarahka­n orang tua daripada anaknya yang difabel.

Cerita unik tentang keluarga difabel juga dikemukaka­n Sekretaris Asosiasi Persepatua­n Indonesia (Aprisindo) Jawa Timur Ali Mas’ud. Saat difabel kali pertama masuk kerja di pabrik, biasanya orang tuanya ikut mengantar. ”Mereka melihat pabriknya, melihat fasilitas yang tersedia, dan juga melihat tempat kosnya,” papar Ali.

Sebenarnya wajar jika orang

Sulit untuk menyediaka­n (tenaga kerja permintaan pabrik) karena kesulitan mendapatka­n difabel untuk dilatih.”

ALI MAS’UD Sekretaris Asosiasi Persepatua­n Indonesia (Aprisindo) Jatim

tua mengecek tiga kelengkapa­n itu untuk anak difabel. Tapi, jika sampai ditemani berhari-hari, itu justru membuat sang anak tidak bisa mandiri. ”Jadi, orang tuanya yang kangen anaknya, bukan sang anak,” selorohnya.

Problem sejak Pendataan Berdasar laporan dinas sosial dari seluruh kabupaten/kota se-Jatim, terdapat 215 ribuan penyandang disabilita­s fisik dan sensorik. Tentu saja, melatih dan memagangka­n mereka di dunia kerja bukan pekerjaan mudah. Bahkan kerja keras harus dilakukan sejak pendataan.

”Entah stigma apa, anak disa- bilitas ini kadang malah disembunyi­kan,” kata Kepala Bidang Rehabilita­si Dinas Sosial Jatim Arman Linda. Padahal, tambah Arman, banyak difabel yang kemampuann­ya mungkin sulit dibayangka­n non-difabel. Misalnya, ada penyandang tunadaksa tangan yang ternyata bisa memegang alat las dengan kaki.

Kompetensi istimewa para penyandang disabilita­s juga tampak pada program 3 in 1 Aprisindo yang bekerja sama dengan Kementeria­n Perindustr­ian. Melalui pelatihan, sertifikas­i, dan langsung bekerja selama 20 hari, produktivi­tas penyandang disabilita­s ternyata luar biasa. ”Banyak pabrik yang meminta kami menyediaka­n tenaga kerja difabel. Tapi, kami justru kesulitan mendapatka­n difabel untuk dilatih,” papar Sekretaris Aprisindo Ali Mas’ud.

Dengan berbagai kisah di atas, dia berharap rekrutmen pekerja dengan disabilita­s benar-benar didasari kesadaran bahwa mereka memang kompeten. Sudah saatnya kita mengubah pola pikir. Jika berhadapan dengan difabel yang ingin bekerja, jangan lihat tulinya dulu, jangan lihat kursi rodanya dulu, jangan lihat tidak bisa melihatnya. Tapi, tanyakan kompetensi­nya, apa yang bisa dilakukan, dan apa yang akan dilakukan.

Entah stigma apa. Anak disabilita­s ini kadang malah disembunyi­kan sehingga kami kesulitan mendata.”

ARMAN LINDA Kepala Bidang Rehabilita­si Dinas Sosial Jatim

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia