Tolak Penutupan Dolly Muncul Lagi
Pemkot Ajak Proaktif Perangi Prostitusi
SURABAYA – Empat tahun sudah lokalisasi Dolly ditutup. Warga juga mulai hidup dengan normal. Namun, seiring dengan waktu, penolakan penutupan lokalisasi Dolly muncul lagi.
Gerakan yang selaras dengan penolakan penutupan itu muncul pada 23 Januari lalu. Belasan warga Dolly yang mengatasnamakan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) dan Komunitas Pemuda Independen (Kopi) menggelar aksi.
Mereka menagih janji pemkot. Yakni, tentang jaminan kesejahteraan setelah Dolly ditutup.
Yanto, perwakilan massa, menyatakan bahwa lapangan kerja yang pernah dijanjikan tidak pernah terwujud. Banyak eks pekerja seks di Dolly yang hidup sengsara. ”Warung tempat mereka jualan juga tidak memiliki pelanggan,” katanya.
Karena itu, kelompok tersebut ingin pemkot bersikap realistis. Yakni, lebih memperhatikan para mantan pekerja seks. Yanto mengelak jika sikap tersebut dianggap sebagai pembangkangan. Prinsipnya, warga mendukung kebijakan pemkot yang membawa dampak positif
Pemkot sudah memfasilitasi, tetapi masyarakat juga harus seiring.” HIDAYAT SYAH Asisten Administrasi Umum Pemkot Surabaya
”Tapi, imbas dari kebijakan itu harus dipikirkan,” imbuh dia.
Mereka juga mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemkot. Nilainya besar, Rp 2,7 triliun. Uang tersebut merupakan ganti rugi untuk warga eks lokalisasi Dolly yang terdampak penutupan. Tuntutan itu disampaikan ke Pengadilan Negeri Surabaya pada 23 Januari. Hingga kini belum diketahui pasti tindak lanjut dari pengajuan warga tersebut.
Selain sikap warga yang menagih janji pemkot, saat ini beredar isu rencana pembangunan rumah musik di wilayah tersebut. Rencana itu disampaikan warga Putat Jaya Timur saat menyambut Ketua MPR Zulkifli Hasan. Mendengar pengaduan tersebut, Zulkifli menolak keras rencana itu.
Sebenarnya, masih banyak eks pekerja seks di Dolly yang terlihat wira-wiri di kawasan tersebut. Mereka hanya ngetem di warung kopi. Baju yang dikenakan juga tidak mencerminkan seorang penjaja seks. Yakni, kaus lengan pendek dan celana jins.
Camat Sawahan M. Yunis mengatakan, pemkot terus melakukan pendampingan kepada warga terdampak penutupan lokalisasi Dolly. Banyak yang sudah menuai hasil dari pembinaan itu. ”Pemkot juga tidak pernah diam untuk mendampingi,’’ katanya.
Kapolsek Sawahan Kompol Dwi Eko berharap polemik yang terjadi di lapangan mereda. Sebab, perselisihan bisa mengganggu stabilitas keamanan di Surabaya. Apalagi saat ini masuk momen pemilihan kepala daerah. ”Kami ingin masing-masing pihak bisa menahan diri,” ucapnya.
Usulkan Regulasi Baru Maraknya pemanfaatan koskosan sebagai tempat prostitusi terselubung di kawasan Putat ditengarai terjadi karena regulasi yang masih tumpul. Untuk itu, Kelompok Pengabdian Masyarakat (Dianmas) Polrestabes Surabaya yang mengadakan penelitian di eks lokalisasi Dolly mere komendasikan adanya peraturan daerah yang baru.
Hasil studi lapangan itu dipaparkan oleh Kelompok Dianmas Polrestabes Surabaya di balai kota kemarin (9/2). Sejumlah pejabat pemkot menerima beberapa masukan yang disampaikan oleh mahasiswa STIK-PTIK tersebut. Setidaknya ada lima rekomendasi yang disampaikan. Di antaranya, pembuatan regulasi untuk perizinan kos-kosan dan sanksi hukum administrasi.
Ketua Kelompok Dianmas Polrestabes Surabaya Dhanar Dhono Vernandi menerangkan bahwa sanksi hukum dalam Perda Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Penggunaan Bangunan untuk Perbuatan Asusila terlalu ringan.
Menurut Dhanar, kriteria itu membuat rumah kos yang memiliki kamar kurang dari sepuluh unit justru menjamur.
Sementara itu, Asisten Administrasi Umum Pemkot Sura- baya Hidayat Syah menyatakan bahwa masyarakat sekitar harus ikut proaktif dalam memerangi prostitusi terselubung. ”Pemkot sudah memfasilitasi, tetapi masyarakat juga harus seiring,” terang Hidayat.