Jumlah Angkot Kian Menyusut
Banyak Trayek ke Kampung Mati
SURABAYA – Nasib angkutan kota (angkot) kian terpuruk. Menjamurnya pesaing seperti angkutan online hingga banyak angkot yang tidak layak jalan membuat penumpang semakin meninggalkannya.
Nasib malang angkot tersebut dapat terlihat dari jumlahnya yang semakin turun setiap tahun. Pada 2017 saja, misalnya. Jumlah angkot yang mengitari jalan untuk melayani penumpang hanya sekitar 3.600.
Padahal, pada 2012–2013 jumlah angkot yang memiliki izin trayek mencapai 4.647 kendaraan. Rute yang dilayani angkot juga berkurang. Lima tahun lalu, ada 58 rute angkot di Surabaya. Saat ini hanya terdapat 40 rute.
Kabid Angkutan Dinas Perhubungan (Dishub) Tunjung Iswandaru menyatakan, turunnya angkot yang beroperasi tidak terlepas dari persaingan angkutan. Terutama dengan angkutan online yang menawarkan kenyamanan dan kemudahan.
Betapa tidak, angkutan online dianggap lebih mudah dipesan dan praktis. Para pengguna jasa tinggal menghubungi angkutan. Dalam beberapa menit, kendaraan langsung datang. Penumpang juga bisa langsung diantar ke tempat tujuan. ”Ini yang tidak dimiliki oleh angkot,” ucapnya kepada Jawa Pos kemarin.
Faktor kemudahan pelayanan tersebut membuat pengguna angkutan online membeludak. Karena itu, angkot kian sepi. Tunjung mencontohkan, saat ini mayoritas angkot yang punah melayani rute di wilayah kampung-kampung. Sementara itu, di rute jalan besar, angkot masih bisa bertahan.
Selain kurang praktis, kini angkot dianggap sebagai angkutan masal yang minim fasilitas dan pelayanan. Tengok saja kondisi angkot saat ini. Kebanyakan kendaraan yang digunakan sudah renta.
Jika diadakan uji kir, sudah dipastikan banyak yang tidak lolos. Tunjung menyebutkan, pada 2017, dari 3.600 angkot yang masih beroperasi, kurang dari 1.500 yang mengantongi izin perpanjangan trayek. Mereka yang mempunyai trayek itulah yang lolos uji kir.
Sopir angkot yang gemar ngetem sembarangan juga membuat penumpang semakin sebal. Mereka kapok. Sebab, perjalanan untuk sampai ke tempat tujuan menjadi lebih lama lantaran kendaraan yang ditumpangi tak kunjung berjalan.
Dampaknya, nasib sopir pun semakin mengenaskan. Penghasilan agar dapur tetap ngebul semakin berkurang. Tunjung menuturkan, beberapa hari lalu, dia berbicara kepada beberapa sopir angkot. Saat ini penghasilan sopir rata-rata Rp 30 ribu sehari. ”Padahal, lima tahun sebelumnya, penghasilan para sopir dalam sehari bisa mencapai Rp 100 ribu,” ungkapnya.
Untuk mengatasi itu, kini pemkot berencana mengatur angkot yang beroperasi di Surabaya. Salah satunya, memberikan kewenangan buy the service. Yakni, beban pendatapan nanti ditanggung oleh pemkot.