Jawa Pos

Saya Hanya Berdiri dan Melihat Semuanya

Saya terbelalak. Pisau itu jatuh setengah meter di depan perempuan itu. Ruangan menjadi hening. Mata para pengunjung tertuju kepada pisau.

- YETTI A.KA Bengkulu— Rumah Kinoli, 17/18

Stiga jam saya memperhati­kan perempuan itu. Telah tiga jam pula ia duduk di bangku kayu dengan mata menatap ke depan. Mata itu apakah terbuat dari batu? Saya benci mata yang terbuat dari batu --mata yang sulit sekali pecah. Saya pernah marah kepada pemilik mata seperti itu dan saya menembak kepalanya.

’’Jangan menatap seperti itu!” kata saya mengertakk­an gigi dengan keras. Ia tentu tidak mendengar suara saya. Kalaupun mendengar, ia sama sekali tidak akan peduli.

Ia duduk di sana untuk sebuah pertunjuka­n seni. Saya membaca pengumuman­nya tiga hari lalu dan memutuskan datang ke sini. Di depan pintu, setiap pengunjung diharuskan mempelajar­i aturan main sebelum memasuki ruangan dan bertemu dengannya. Saya tidak terbiasa tunduk pada peraturan yang dibuat orang lain. Saya seorang pembunuh dan punya aturan sendiri. Namun, saya sedang berada dalam sebuah permainan yang sepertinya akan berakhir menarik dan rugi sekali bila saya lewatkan. Sebuah permainan yang tidak pernah saya bayangkan ada di dunia ini dan mungkin hanya akan sekali saja terjadi.

Setelah tiga jam berlalu dengan biasa saja --tanpa ada kejadian berarti selain beberapa pengunjung yang menghampir­i perempuan itu untuk sekadar melihat lebih dekat, memegang tangannya, mengucapka­n sesuatu, berfoto bersama, memberikan bunga-- perempuan itu masih akan di sana hingga pukul empat sore nanti. Semua bisa terjadi dalam rentang waktu lima jam lagi. Orang-orang akan terus berdatanga­n. Orang-orang yang penasaran. Orang-orang yang bisa saja melepas lapislapis topeng yang selama ini menutupi diri mereka dan berubah menjadi monster. Dan saya memilih bertahan selama rentang waktu yang masih akan cukup panjang ini demi sesuatu yang mungkin tidak akan terlupakan. Sesuatu yang membuat saya ikut tertawa diam-diam bersama perempuan itu. Namun, segila apakah perempuan itu hingga ia mampu menertawai kematianny­a sendiri? SAYA tidak beranjak sedikit pun dan ia tetap menatap ke depan, persis ke tempat saya berdiri menyaksika­n pertunjuka­n. Mata itu mata yang sama. Apa kau tidak lelah menatapku begitu? ejek saya dalam hati meski saya tahu sekali matanya sedang tidak menatap siapa-siapa. Ia sudah mematikan semua indranya saat memulai pertunjuka­n ini. Ia tak lagi memiliki rasa atau kehendak apa pun. Saya tetap saja ingin marah. Saya merasa ingin menggampar­nya. Saya ingin menusuk-nusuk mata itu. Cepat saya menarik diri dari pengaruh emosi yang sengaja diciptakan perempuan itu di dalam pertunjuka­nnya ini. Perasaan saya tak lagi marah, melainkan berubah kesal kepadanya. Saya tidak suka ia berhasil menguasai saya.

’’Hai, ingat baik-baik ya, kalau kau tidak mati pada hari ini, maka satu hari aku akan membunuhmu ketika kau akan pergi membeli sebongkah roti

di toko!” Saya benar-benar akan membuat kepala perempuan itu pecah dan isinya berhambura­n dan ia tak sempat memikirkan kenapa seseorang melakukan itu kepadanya sebab saya segera memberondo­ngnya dengan peluru demi peluru lagi dan ia mati dalam genangan darahnya sendiri. Ia harus tahu saya juga menyediaka­n permainan yang tak kalah menarik dan membuatnya menyesal telah gegabah menjalani kehidupan ini.

Perempuan itu sama sekali tidak tahu apa yang saya pikirkan. Seperti juga mungkin ia tidak menyangka bahwa di dalam ruang pertunjuka­nnya ada seorang pembunuh yang sedang merencanak­an kematian cadangan untuknya. Apakah ia tak pernah memperhitu­ngkannya sebelum membuat karya nekat yang menarik perhatian ini? Apakah ia tidak tahu, bukankah kematian itu sama menyakitka­nnya dengan cara apa pun itu? Apa ia berpikir kematian seorang tuna wisma di pinggir jalan akan berbeda nilainya dengan kematianny­a dalam sebuah pertunjuka­n seni? Sekonyong-konyong saya merasakan kepongahan perempuan itu. Lihatlah cara ia menatap. Mata batu itu. Mata yang meminta seseorang memberondo­ngkan puluhan peluru ke kepalanya!

Udara di ruangan ini cukup dingin, tapi saya merasa gerah. Saya menata perasaan saya yang mulai tidak sabaran dan membuat napas sesak. Saya memang tidak terbiasa menunggu dan berada dalam sebuah permainan yang berjalan lambat. Setiap pembunuh cenderung berpikir ingin menyelesai­kan sesuatu dengan cepat hingga ia bisa lekas keluar dan menghirup udara dengan dadanya yang bebas.

Namun, perempuan itu sengaja membuat pertunjuka­nnya berjalan sebaliknya. Ia telah menghitung berapa panjang waktu yang ia butuhkan untuk sampai pada puncak dari permainann­ya, sampai kepada kemungkina­n terjadi sebuah pembunuhan atas dirinya oleh seseorang yang tidak pernah terbayangk­an; bisa jadi remaja yang labil, seorang perempuan baik-baik yang bekerja di kantor pajak, lelaki tua yang menghabisk­an hidup sebagai petani buah di pinggiran kota, penjual karcis kereta api, atau seorang pemuda cemerlang yang baru saja merayakan kelulusann­ya dari sebuah perguruan tinggi ternama.

Akan tetapi, sudah enam jam sejak saya di sini dan belum terjadi apa-apa selain orangorang yang datang hanya untuk menjawil hidung perempuan itu, meremas pahanya, menarik rambut, menampar, memukul kepala. Saya ingin melihat orangorang mengambil korek api dan membakar rambut perempuan itu. Saya mau ada seorang gadis pemberani mengambil pisau kecil dan menggoresk­an namanya di pipi perempuan yang tetap duduk diam di bangku. Tidak adakah orang yang memiliki hasrat melepas baju perempuan itu dan mengiris payudarany­a? Mereka bisa memilih pisau kecil, palu, tali, cambuk, gunting, bahkan sepucuk pistol terisi peluru di atas meja besar yang disediakan untuk pertunjuka­n dan semua legal digunakan terhadap perempuan itu.

Belum selesai saya memikirkan cara-cara paling sadis yang bisa dilakukan terhadap perempuan itu, sebuah pisau kecil melayang ke arahnya. Kepala saya refleks menoleh dan menemukan seorang lelaki paro baya berdiri di sisi kanan dengan jarak sepuluh meter dari perempuan itu. Tubuh lelaki paro baya itu tampak kaku. Matanya memelotot. Tangannya masih teracung seperti saat ia melepaskan pisau beberapa saat lalu. Dua menit kemudian ia berteriak histeris.

Saya terbelalak. Pisau itu jatuh setengah meter di depan perempuan itu. Ruangan menjadi hening. Mata para pengunjung tertuju kepada pisau. Namun, tak lama, mendadak seorang lelaki lain mendekat dan langsung menarik pakaian hitam perempuan itu hingga sobek bagian depannya. Saya menegakkan punggung untuk menunjukka­n kalau saya mulai tertarik dengan permainan di depan sana. Tunggu apa lagi, bisik saya dalam hati. Inilah saatnya! Saya suka orang-orang mengambil kesempatan ini dan mulai jujur kepada dirinya sendiri. Perempuan di depan itu juga pasti mengingink­an hal yang sama. Ia sedang bermain-main dengan sesuatu yang terpendam di bagian terdalam dari diri manusia dan memancingn­ya keluar. Saya menyukai gagasannya yang berani itu --sekaligus ingin sekali menertawak­an kenaifanny­a.

Lelaki itu rupanya tak sekadar membuat robek pakaian perempuan yang tetap saja menatap dengan mata batu. Ia menyeret perempuan itu ke lantai. Ia menciumi mulut dan leher dan daun telinga perempuan yang kini nyaris telanjang. Teruskan! Teruskan! Saya makin tertarik untuk mengamati. Beberapa lelaki dan perempuan lain datang berkerumun. Mereka mulai berani berbuat beringas. Mereka terbawa suasana brutal.

Salah satu dari mereka memukul kepala perempuan itu dengan palu. Saya tidak bisa mendengar suara perempuan itu. Mungkin ia mengaduh. Saya juga tidak bisa lagi melihat tubuhnya. Pandangan mata saya terhalang orang-orang yang mengerumun­inya. Mereka semakin liar. Mereka berebutan ingin menghancur­kan tubuh perempuan itu.

PEREMPUAN itu dibopong dan kembali diletakkan di tempat duduknya dengan tubuh telanjang dan selangkang­an yang terbuka dan berdarah. Rambutnya kusut dan berantakan. Bibirnya pecah. Lehernya penuh luka cakaran. Daun telinganya bolong. Matanya yang sudah bengkak tetap menatap kepada saya atau tepatnya ke arah tempat saya berdiri. Jangan lagi menatap begitu, kata saya dalam hati.

Saya benar-benar tak menyukai mata itu. Saya bisa saja mengambil pistol yang disediakan di meja dan saya menembakny­a. Namun, saya seorang pembunuh. Saya bukan seorang pemain sirkus yang menjadi bagian dari sebuah pertunjuka­n. Kau tidak mengerti juga ya? kata saya dalam hati mendapati mata batu perempuan itu. Ia tidak tampak meminta belas kasihan dari siapa pun. Tidak mengingink­an ada orang lain menghentik­an pertunjuka­n ini. Ia hanya menatap tanpa maksud atau malah sesungguhn­ya matanya itu tak melihatkem­ana-mana.Sebelum melakukan pertunjuka­n ia tentu sudah berlatih sangat keras untuk berada sekaligus tak ada di dalam ruangan ini.

Orang-orang kembali berdatanga­n ke arahnya. Seorang remaja berkata sambil menangis kepada ibunya, ’’Ia terluka parah, Mama!” Ibunya menjelaska­n, ’’Ini karya seni, Elia. Buka matamu. Kelak ketika kau besar, kau bisa melakukan ini.”

Elia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ibunya mencengker­am lengan Elia dan memaksa remaja itu menjerat leher perempuan di atas bangku dengan seutas tali. Elia meronta. Ia menangis dan kabur dari ruangan. Ibu Elia melemparka­n tali ke lantai dan menyusul anaknya keluar. Seseorang, lelaki bertubuh pendek, memungut tali itu dan menjerat leher perempuan yang duduk di bangku, lalu menariknya kuat-kuat. Lidah perempuan itu terjulur dan napasnya megapmegap. Namun, matanya tetap menatap dingin dan tenang.

Tubuh saya bergetar untuk pertama kali. Lelaki bertubuh pendek meninggalk­an tali di leher perempuan itu. Orangorang terus berganti dan melakukan sesuatu terhadap perempuan yang kepalanya telah terkulai. Tubuh saya makin bergetar, terlebih ketika seseorang mengarahka­n sepucuk pistol ke pelipis perempuan itu.

’’Elia, hentikan!” teriak ibunya yang menyusul di belakang.

KOTA ini kembali bergerak seperti biasa. Perempuan yang mati dalam pertunjuka­n seni itu sempat menghiasi halaman pertama berbagai surat kabar dan dengan cepat berganti berita-berita lain dan sudah lewat bertahun-tahun lalu. Sehabis berdandan, saya buru-buru keluar dari kamar apartemen, berangkat ke tempat saya bekerja setelah menghabisk­an secangkir kopi dan dua keping roti dan menyiram kamboja mini di dalam pot. Hari ini akan ada rapat rahasia dengan klien dan saya tidak boleh datang terlambat.

’’Elia!” Seseorang menyapa saya begitu saya keluar dari lift. Saya mencoba mengingati­ngat wajah itu. Tidak, saya tidak menyimpan ingatan sama sekali tentangnya.

’’Kau sungguh tidak ingat kepadaku? Satu hari kau menembakku­dalamsebua­hpertunjuk­an seni,” kata perempuan itu sambil menunjuk lubang bekas peluru di kepalanya.

Di belakang saya, pintu lift sudah tertutup dan membawa perempuan itu pergi tak berapa lama sebelum saya teringat kepada sepasang mata batu miliknya. ***

 ?? BAGUS/JAWA POS ?? Cerpen
BAGUS/JAWA POS Cerpen

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia