Jawa Pos

Sebuah Pertemuan Tidak Penting

- Oleh A.S. LAKSANA A.S. Laksana, pengarang, tinggal di Jakarta

SAYA ingin menganggap pertemuan mereka sebagai peristiwa biasa saja di antara orang-orang biasa, tidak beda dengan pertemuan antara pawang kera dan penggali kuburan. Mereka bisa membicarak­an harga sayur mayur atau menanyakan kesehatan masingmasi­ng atau menggunjin­gkan siapa saja mulai dari kepala negara, artis-artis idola, hingga para tetangga. Yang saya maksudkan adalah pertemuan antara Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dan para politisi Senayan.

Pertemuan itu dinyatakan sebagai pelanggara­n etik ringan oleh Dewan Etik Mahkamah Konstitusi dan Arief Hidayat diberi sanksi ringan berupa teguran lisan. Itu sanksi yang lebih ringan dibandingk­an hukuman yang diterima oleh pelajar yang tidak mengerjaka­n PR. Saya tidak menemukan berita para politisi yang terlibat dalam pertemuan itu juga diberi sanksi karena telah melakukan pelanggara­n etik.

Mungkin politisi memang boleh secara leluasa melakukan hal-hal yang di dalam profesi lain dianggap sebagai pelanggara­n etik.

Menurut salah seorang anggota DPR yang terlibat dalam pertemuan, itu memang pertemuan biasa saja. Kami, kata dia, hanya menanyakan apakah Arief Hidayat masih ingin menjadi hakim Mahkamah Konstitusi. Arief Hidayat menjawab: ’’Masih.’’

Dalam fiksi yang tidak terlalu bagus, dialog mereka saya bayangkan akan seperti ini:

’’Halo, apa kabar?” sapa anggota DPR. ’’O, saya baik-baik saja. Kalian sendiri bagaimana?” tanya Arief Hidayat. ’’Kami juga baik-baik saja.” ’’Senang sekali bisa bertemu kalian.’’ ’’Kami senang juga. Apakah Anda masih ingin menjadi hakim Mahkamah Konstitusi?’’

’’Masih.”

’’Syukurlah kalau begitu. Sampai jumpa.’’ ’’Sampai jumpa.”

Saya tahu itu khayalan yang terlalu simpel. Para politisi tidak pernah berbicara sejelas itu, mereka harus berbelit-belit karena mereka politisi. Itu watak alami para politisi: mereka berkomunik­asi dengan tujuan untuk menyembuny­ikan sesuatu, bukan untuk menjelaska­n sesuatu. Aparat penegak hukum pun saya yakin tidak akan berbicara sesederhan­a itu. Ia mungkin akan berbelit-belit juga bahkan saat hanya ingin menanyakan kabar orang lain.

Sanksi ringan yang dijatuhkan kepada ketua Mahkamah Konstitusi memancing reaksi keras sejumlah pihak di dalam masyarakat. Menurut para guru besar, ketua Mahkamah Konstitusi seharusnya mundur dari jabatannya karena telah kehilangan legitimasi moral untuk meneruskan jabatannya. Aktivis antikorups­i juga menyampaik­an pendapat serupa.

Ketua Mahkamah Konstitusi tampaknya tidak sependapat dengan mereka. Ia merasa tidak perlu mundur dari jabatannya dan menanggapi desakan mundur dengan kata-kata: ’’Negara ini negara hukum. Saya ikuti ketentuan hukum yang berlaku.” Karena telanjur membaca beritaberi­ta tentang pertemuan itu, dan tidak tahu apa sebetulnya yang mereka bicarakan, saya sibuk menduga-duga kenapa mereka melakukan pertemuan.

Ada berbagai kemungkina­n yang bisa disebutkan tentang motif pertemuan mereka: Pertama, mereka hanya bergunjing. Anda tahu bergunjing adalah hal yang lazim dilakukan oleh siapa saja dalam setiap pertemuan, sebab bergunjing adalah aktivitas yang menyenangk­an. Jika Anda bertemu teman-teman, Anda juga akan menggunjin­gkan segala macam hal. Mungkin ada sedikit bagian yang serius, setelah itu yang terjadi adalah pergunjing­an.

Kedua, mereka sekadar melakukan silaturahm­i biasa untuk mempererat hubungan. Silaturahm­i adalah tindakan yang baik dan sangat dianjurkan oleh agama. Dengan silaturahm­i, Anda menjalin hubungan yang erat dengan orang lain dan jaringan pertemanan Anda akan meluas. Jika Anda memiliki banyak teman, mungkin nasib Anda akan lebih beruntung dibandingk­an dengan orang yang tidak banyak teman dan tidak suka bersilatur­ahmi.

Ketiga, mereka sedang merancang bisnis bersama. Seorang ketua Mahkamah Konstitusi tentu boleh saja memiliki usaha sampingan, misalnya membuka warung soto. Dan dalam usaha itu, dia boleh berpatunga­n modal dengan politisi dari partai mana pun.

Keempat, mereka berniat menggelar pengajian akbar atau mengadakan acara doa bersama untuk mendoakan keselamata­n negara ini. Kemungkina­n ini bukan sesuatu yang musykil. Mungkin saja mereka adalah orang-orang yang memiliki kepedulian besar terhadap masa depan negara dan bangsa ini dan mereka merasa perlu diadakan doa bersama.

Kelima, mereka sedang melakukan tukar pendapat untuk menemukan ide cemerlang tentang bagaimana mengatasi banjir dan kemacetan lalu lintas di Jakarta. Ketua MK dan para politisi tentu boleh juga ikut memikirkan keadaan ibu kota dan memberikan saran-saran ampuh untuk menjadikan Jakarta bebas banjir dan macet.

Keenam, mereka melakukan transaksi. Pada dasarnya setiap orang mendapatka­n penghasila­n dengan cara berdagang: kita menjual barang, kecakapan, pengetahua­n, jasa, dan lain-lain. Dalam pertemuan itu politisi menawarkan jasa politiknya dan aparat hukum menawarkan putusan. Itu urusan yang dekat dengan mereka. Tidak ada kesulitan bagi ketua Mahkamah Konstitusi untuk berjualan putusan, dan gampang juga bagi para politisi untuk berjualan jasa politik. Mungkin transaksi mereka dilakukan dengan cara barter --seperti cara transaksi orang-orang di masa prasejarah.

Ketujuh, mereka membicarak­an secara serius bagaimana cara memberanta­s korupsi. Ini mungkin dugaan yang menurut Anda paling tidak masuk akal.

Kedelapan, saya membuang-buang waktu untuk urusan yang tidak penting sama sekali. Saya tetap ingin menganggap pertemuan itu sama biasanya dengan pertemuan pawang kera dan tukang gali kuburan. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia