Oleh-Oleh Tak Lazim dari Jogja
KETIKA Fitri Graham menggelar pameran tunggalnya yang bertajuk Melancholia pada 1949, para kritikus seni di Australia menyebut lukisan abstraknya dalam pameran itu sebagai karya yang suram, tak bernyawa, bahkan sangat buruk. Kesan tersebut bahkan tertanam begitu dalam di tengah masyarakat, juga keluarganya hingga membuatnya sangat terpuruk dan memutuskan untuk mundur dari dunia seni.
Namun, 68 tahun sesudahnya, seorang kurator muda begitu menggebu untuk mengenang kiprah pelukis putus asa tersebut dengan menggelar sebuah pameran retrospektif. Dengan mengulang judul serupa; Fitri Graham’s Melancholia: A Retrospective, artefak, benda-benda miliknya semasa hidup, dan lukisan abstraknya yang suram dipamerkan kembali di Kings Artist-Run Gallery, Melbourne, 6–28 Januari 2017.
Fitri Graham yang hidup pada kurun 1922– 1980 merupakan tokoh rekaan yang dikarang oleh Ida Lawrence, seniman muda berdarah campuran Australia-Jawa yang kini menetap di Sydney. Dalam pameran retrospektif Fitri Graham tersebut, Ida membangun narasi fiktif tentang sosok pelukis abstrak tak dikenal yang hidup pada 1940-an di Australia dengan seolah-olah menghadirkan karya-karya, artefak, dan benda-benda kepunyaannya semasa hidup. Padahal, semua itu hanyalah bohong belaka dengan tujuan mengelabui para pencinta seni yang penasaran dengan sosok pelukis gurem yang dibangkitkan kembali dari rimba masa lalu.
Sebagai seniman visual, Ida Lawrence banyak bekerja dengan menggunakan metode fiksi dalam karya-karyanya. Selain mengurasi pameran fiktif Fitri Graham, Ida menciptakan karya berdasar ensiklopedi gerak tangan pada tari Jawa. Tetapi, para penghayat kesenian yang jeli pasti segera bisa menemukan keganjilan-keganjilan dalam bentuk gerak tangan yang dilukis olehnya.
Begitulah cara Ida bekerja dengan mengelabui para penikmat karyanya melalui fiksi. Misalnya, melakukan jukstaposisi antara yang nyata dan yang rekaan. Tetapi, bukankah karya seni pada umumnya juga adalah sebuah rekaan belaka. Namun, kita kerap menganggap itu erat berkaitan dengan kenyataan.
Sejak awal Desember 2017, Ida Lawrence menjalani program residensi selama sebulan di Redbase Foundation Jogjakarta. Masa tinggalnya di Jogja diakhiri dengan sebuah pameran tunggal berjudul Jangan Lupa Bawa Oleh-Oleh Ya yang dibuka pada 6 Januari hingga 8 Februari 2018. Berada di lingkungan baru dalam sebuah masa residensi menuntutnya untuk mengenali lingkungan sekitar Kota Jogja. Pertumbuhan Kota Jogja sebagai kota pariwisata, termasuk pengalaman pribadinya bersinggungan dengan budaya lokal, memberinya sebuah kata kunci untuk karya-karya yang diciptakannya selama masa residensi, yaitu oleh-oleh. Seperti kebanyakan orang yang datang di Jogja pasti pulang dengan membawa oleh-oleh.
Bagi dia yang selama ini lebih banyak tinggal di Australia, pengalaman saat bertemu dengan keluarga ayahnya yang berasal dari Jawa juga kerap mendengar ujaran, ’’jangan lupa bawa oleh-oleh.’’ Tetapi, itu sekaligus membuatnya merasa canggung karena justru merasa sulit untuk memilih oleh-oleh macam apa yang diinginkan keluarganya atau yang sesuai bagi mereka. Apakah berupa makanan, pakaian, atau suvenir yang lain.
Dia khawatir jika salah membawa oleh-oleh justru akan menyinggung perasaan mereka. Adanya kegagapan dalam melihat budaya itulah yang justru kemudian mendorongnya untuk menggarap tema tersebut dalam masa residensinya kali ini.
Jika ditanya mengenai oleh-oleh khas Jogja, siapa pun pasti dengan mudah menyebutkan daftar kuliner khas kota tersebut, atau suvenir kerajinan yang begitu banyak variannya. Namun, tanpa ingin terjebak pada klise ’’oleholeh khas Jogja’’ pada umumnya, misalnya bakpia, gudeg, atau batik, Ida justru melihat ruang-ruang yang ada di Jogja sebagai sesuatu yang khas dan unik, sama halnya dengan oleh-oleh tersebut yang semestinya memiliki keunikan dan kekhasan tertentu.
Cara pandang Ida tentu saja sangat dipengaruhi latar belakang kekaryaannya yang kerap menggunakan fiksi dan narasi sebagai metode penciptaan. Metode itu akan sangat berpengaruh terhadap prosesnya mereduplikasi ruang di Kota Jogja melalui fiksi dan narasinya sehingga bisa menjadi oleh-oleh untuk kerabatnya di kota lain.
Dia melihat bagaimana ruang, arsitektur, termasuk proses organik warga dalam menciptakan ornamen di lingkungan tempat tinggalnya, merupakan sesuatu yang unik dan menarik. Proses alamiah yang terjadi pada sebuah dinding di salah satu sudut kota pun menarik perhatiannya. Cat yang mengelupas dan memudar karena cuaca, menurut Ida, justru menimbulkan efek artistik yang menarik. Atau bongkahan dinding dari sebuah rumah yang tengah dirobohkan pemiliknya juga menarik perhatian seniman yang pernah mengikuti Asian Arts Biennale di Bangladesh itu.
Salah satu karyanya menampilkan foto rumah yang tengah dibongkar tersebut, sementara di atasnya terpasang bongkahan dinding berwarna hijau, persis yang ada di dalam foto. Sekilas, kita mungkin menyangka bahwa Ida mengambil bongkahan dari rumah tersebut. Tetapi, ternyata bongkahan dinding itu hanyalah replika belaka yang dibuat dengan papan kayu yang dilapisi semen.
Ida menyusuri jalan-jalan dan berbagai sudut Kota Jogja untuk menemukan dinding yang menarik dijadikan oleh-oleh baginya seperti yang dia peroleh di Sewon (Bantul), Jalan Tirtodipuran, Jalan Tamansiswa, hingga Jalan Solo. Dinding-dinding yang didokumentasikan merupakan dinding yang telah mengalami suatu peristiwa, yang menurutnya menjadi sebuah rekaman sosial melalui efek-efek cuaca ataupun perilaku manusia terhadapnya.
Namun, Ida tidak melakukan penelitian secara perinci mengenai jejak sejarah dari dinding-dinding yang direkamnya, tetapi hanya memainkannya sebagai pemantik narasi bagi pengunjung pamerannya untuk menyusun sebuah narasi. Sebagaimana sebuah karya fiksi, dia membiarkan orangorang membangun interpretasi sendiri atas objek yang dihadirkan olehnya.
Selain mengamati dinding-dinding di sudutsudut Kota Jogja, Ida merekam sejumlah ornamen yang diciptakan warga seperti gapura di depan gang, tiang-tiang adu merpati, atau tiang pagar rumah warga yang terbuat dari bambu yang dicat berwarna merah putih. Tiang-tiang tersebut dihadirkan Ida dalam karya berjudul Tiang-Tiang Curian dengan menyusun bambu-bambu secara berjajar dan menyandingkannya dengan sebuah gergaji, sementara di sampingnya terpasang foto-foto bagaimana bambu semacam itu biasa dimanfaatkan oleh warga. Secara otomatis, kita akan mengira Ida memang mencuri tiangtiang itu dari lokasi tertentu. Tetapi, nyatanya Ida hanya membuat replikanya.
Metode fiksi yang dihadirkan Ida Lawrence dalam pameran kali ini memang cenderung mengelabui pemirsa pada kesan pertama melihat karyanya, seolah-olah yang dihadirkan dalam ruang pamer adalah benda-benda nyata yang diambil dari realitas. Padahal, hanya replika. Tentu saja metode tersebut seperti mempermainkan batas antara karya seni dan benda sehari-hari yang ada di ruang galeri. Sekaligus mempertanyakan seberapa jauh seni telah menciptakan realitas baru bagi para pemirsanya. Sebab, selama ini kita kerap meyakini bahwa karya seni adalah oase yang memantulkan realitas. Tetapi, bagaimana seandainya bayangan itu justru hadir terlalu nyata? Bisa jadi, kita justru terlalu mudah tertipu. (*)