Kalau Buku Bisa Ngomong
WALAU selalu marah-marah, Sastro periang dan masih punya kepercayaan. Lelaki itu percaya bahwa yang bisa merindu bulan bukan cuma pungguk. Pegawai negeri juga rindu bulan. Tepatnya awal bulan. Itulah bangsa manusia yang biasanya marahmarah pada tanggal tua.
Selain dirindukan pungguk dan aparat sipil negara, bulan juga bisa ngomong. Ini juga termasuk kepercayaan Sastro. Semasih kecil pemuda asal Blitar itu demen lagu pemusik Doel Sumbang Kalau Bulan Bisa Ngomong:
Kalau bulan bisa ngomong Dia jujur takkan bohong
Sambil mengejar layang-layang Sastro menyanyikannya riang. Pas alam marah-marah dalam wujud tanah longsor, banjir bandang, gempa bumi, dan lain-lain Sastro kecil pun masih dengan gembira menyanyikan tembang Doel dengan Nini Karlina itu.
’’Jangan nyanyi itu, Sastro!” pinta panitia pembagian selimut dan nasi bungkus untuk orangorang yang baru kebanjiran. ’’Suasananya ndak pas. Alam sedang marah-marah ke penguasa. Mbok kamu tuh nyanyinya lagu-lagu yang sedih.’’ Lagu yang sedih?
Walau masih kecil dan penggembira, Sastro sudah jadi laki-laki pemarah. Waktu itu, menurutnya, Kalau Bulan Bisa Ngomong sudah sedih. Sastro saja yang membawakannya dengan riang. O, tidak! Panitia berpendapat lain. Mereka keukeuh bahwa lagu itu sendiri, mau sedih kayak apa pun cara Sastro menyanyikan, tetaplah lagu yang riang.
Bagi panitia, lagu sedih walau seheboh apa pun kita mendendangkannya adalah Tanjung Perak yang kerap dibawakan Waldjinah:
Tanjung Perak tepi laut Siapa suka boleh ikut
’’Sedihnya di mana!?” Sastro saat marahnya kian memuncak.
’’Lho, ya, sudah jelas to sedihnya Tanjung Perak itu di mana,” jawab panitia urusan banjir tersebut. ’’Kekebasan itu menyedihkan. Kita diberi kebebasan untuk ikut atau tidak ke Tanjung Perak. Ini menyedihkan. Paling enak tuh diwajibkan. Kayak rencana kewajiban potong gaji untuk zakat melalui negara bagi pegawai negeri yang beragama Islam.”
’’Ah, itu bukan kewajiban!!!” kini Sastro yang ganti bersikukuh dan meradang. ’’Pegawai masih diberi kebebasan. Pegawai yang tidak setuju boleh keberatan!!!”
’’Hadeuuuh,” balas panitia santai. ’’Memang aparatur sipil negara yang tak mau gajinya dipotong karena lebih suka bayar zakat secara langsung boleh mengajukan nota keberatan. Tapi kalau peraturan presidennya sudah keluar, mana ada di antara mereka yang berani keberatan membayar pajak melalui negara?” Hmmm ...
Tak terjadi titik temu antara panitia dan Sastro. Sama saja tak terjadi kesepahaman apakah lagu Buku Ini Aku Pinjam dari Iwan Fals masuk kategori lagu sedih apa lagu riang. Sampai Sastro meningkat dewasa, sampai ia meningkat birahi pada perawan cantik bernama Jendrowati, perdebatan itu pun belum kelar.
Di suatu Rabu malam Sastro meminjam buku ke Jendro. Bukan untuk ditulis-tulisi puisi seperti dalam lirik Buku Ini Aku Pinjam. Sastro berlagak demikian cuma agar punya alasan untuk nge-date ke rumah Jendro, supaya ada alasan untuk mbribik-mbribik.
Malam Minggu buku itu dikembalikan Sastro tanpa membaca isinya, sambil marahmarah ke Jendro bukan saja gegara teleponnya nggak pernah diladeni, tapi karena Jendro mendukung calon pilkada yang Sastro kurang sreg.
Sastro tak sempat membaca isi buku yang ngomong:
’’Jangan habiskan tenagamu untuk marah pada keadaan. Ingat, orang yang kamu sayangi juga masih butuh energimu. Percayalah bahwa warga negara tak cuma kita. Alam juga. Jangan hina seolah alam nantinya tak bisa marah sampai-sampai kamu habiskan seluruh energimu untuk itu.’’ (*)