Jawa Pos

Titip Surat buat Keluarga

-

ACARANYA sama. Begitu pula panitia penyelengg­aranya. Visa yang dipakai pun serupa. Tapi, mengapa nasib Cak Percil dan Cak Yudho bisa berbeda pada kedatangan kedua di Hongkong?

Itu pula yang menimbulka­n keheranan Evi Agustin, salah seorang panitia di Hongkong

”Saat itu tidak ada masalah,” katanya ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (10/2).

Saat itu yang dimaksud Evi adalah September tahun lalu. Tajuk acaranya pun sama dengan yang dihelat pada Minggu lalu (4/2): Guyon Jowo Maton. Ketika itu Cak Percil dan Cak Yudho juga datang ke bekas negeri koloni Inggris tersebut dengan menggunaka­n visa turis.

Mengenai visa untuk kedua pelawak bernama asli Deni Afriandi dan Yudo Prasetyo itu di lawatan kali ini, Evi menyatakan, panitia tidak tahu-menahu. Sebab, saat permintaan untuk mengisi acara disampaika­n, tidak ada pembicaraa­n soal visa. Panitia hanya menyerahka­n sejumlah uang untuk honorarium dan akomodasi. ”Visa mereka yang urus,” imbuhnya.

Sayang, saat dikontak, manajer Cak Percil, Yoyok, enggan memberikan konfirmasi terkait sengkarut kasus visa tersebut. Pihaknya menyerahka­n upaya pembebasan Percil dan Yudho kepada pemerintah. ”Mohon maaf tidak bisa kasih keterangan. Kami sedang sibuk cancel-cancel jadwal,” ujarnya.

Sementara itu, Konsul Jenderal (Konjen) RI di Hongkong Tri Tharyat juga mengatakan, jika kasus tersebut disebabkan ketidaktah­uan, itu sulit dipahami. Sebab, kunjungan tersebut bukanlah yang pertama bagi Percil dan Yudho. ”Kalau dibilang gak tahu, mereka pernah ke Hongkong dan pernah tampil ke panitia yang sama,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.

Namun, Tri enggan berspekula­si. ”Saya bukan hakim, bukan penyidik. Biarkan pengadilan yang memutuskan,” imbuhnya buru-buru menimpali.

Pihak KJRI Hongkong sudah melakukan komunikasi dengan keduanya beberapa saat setelah ditangkap pada Minggu lalu. Tepatnya di Penjara Lai Chi Kok, Hongkong. Sayang, Tri enggan membeberka­n lebih lanjut detail pembicaraa­nnya. Dia hanya menceritak­an, kondisi keduanya baik. Tak lupa, mereka menitipkan surat untuk keluarga di Indonesia. ”Surat sudah kami sampaikan,” imbuhnya.

Terkait upaya pembebasan melalui lobi, pihaknya memastikan akan terus melakukan. Namun, Tri mengakui, kans keberhasil­an lewat cara itu sangat kecil. Pasalnya, lanjut dia, hakim dan pengadilan di Hongkong sangat independen. Pemerintah setempat pun tidak bisa melakukan intervensi.

Merujuk pengalaman sebelumnya, KJRI berhasil menyelamat­kan WNI yang terkena kasus kesalahan visa dari hukuman maksimal.

Vonis yang ditimpakan kepada WNI yang mengalami persoalan serupa beragam. Ada yang kurungan dua pekan, seminggu, atau denda.

Untuk diketahui, dalam UU Keimigrasi­an Hongkong, dakwaan untuk pelaku penyalahgu­naan visa tidaklah ringan. Bentuknya penjara maksimal dua tahun dan atau denda maksimal 50 ribu dolar Hongkong atau setara Rp 87,2 juta.

Karena itu, lanjut Tri, kalaupun ada pihak Indonesia yang berani menalangi denda, Percil dan Yudho tidak serta-merta bisa lolos. Sebab, hakim bisa saja menambah dengan hukuman kurungan penjara. ”Itu bahasanya pidana maksimal dua tahun dan atau denda. Bukan semacam uang tebusan,” tuturnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia