Teror Apa Lagi Ini?
SEOLAH ada pola seragam dan sistematis dalam serangkaian teror yang terjadi selama dua pekan terakhir. Semua mengarah pada tokoh agama sebagai target. Pelaku juga hampir sama: tidak bisa diproses secara hukum lebih lanjut.
Ada empat kasus teror yang menjadi pembicaraan publik. Pertama, penganiayaan terhadap Pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Emon Umar Basyri yang oleh polisi disebut dianiaya orang gila pada Sabtu (27/1).
Belum genap sepekan, peristiwa yang hampir sama terjadi. Bahkan, kejadian tersebut meninggalkan duka mendalam karena Komandan Operasional Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) Prawoto meninggal setelah dianiaya Asep alias Encas. Polisi menganggap pelaku gila sehingga tidak bisa diproses lebih lanjut.
Selanjutnya, sebuah video seorang biksu dan umatnya dilarang beribadah di Desa Babat, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, viral di media sosial.
Yang terakhir, dan semoga benar-benar menjadi yang terakhir, adalah penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Sleman, kemarin (11/2). Pelaku, Suliono, yang beraksi sendiri dengan brutal menyabetkan pedang ke beberapa jemaat gereja Katolik itu hingga melukai mereka, termasuk Pastor Karl Edmund Pier S.J.
Siapa pun pelakunya, entah teroris atau bukan, kita patut mengutuk kekerasan tersebut. Mereka tidak pantas hidup di Indonesia. Mereka telah melakukan aksi yang melampaui batas-batas kemanusiaan. Apalagi dengan target tokoh agama berikut jamaahnya. Secara akal sehat dan menurut agama mana pun, aksi tersebut tidak bisa diterima. Sungguh biadab!
Kita berharap polisi dapat menganalisis rentetan teror itu lebih serius. Aparat harus memetakan permasalahan sekaligus mencari solusi untuk meredam ketakutan masyarakat. Negara harus hadir menunaikan mandat untuk memastikan bahwa peristiwa yang sama tidak terulang. Kondusivitas di seluruh NKRI harus diciptakan pada tahun politik menjelang pilkada serentak pada 27 Juni 2018.
Rentetan teror tersebut sepatutnya dipandang luas dari berbagai perspektif. Aparat jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa terorteror itu hanya peristiwa kriminal biasa. Peristiwa sekecil apa pun dalam tahun politik menjelang pilkada serentak ini, apalagi yang bernuansa sensitif dan berpotensi memantik kemarahan publik, patut diperiksa dengan saksama. Pelaku, motif, dan dugaan adanya aktor intelektual di belakangnya harus diusut tuntas.